Rabu, 13 April 2016

Pemimpi Sejati

Aku terhempas di suatu kota
Penuh cerita kental berbagai ragam
Melaju seperti roda, ditiap malam
Mengadu tentang catatan kelam

Bukan tempatku untuk mengeluh
Derita mereka jauh lebih pedih
Mereka seakan berdamai dengan resah
Berproses tak membuatnya lelah

Aku merasa malu, mereka berjuang sebagai pemimpi sejati
Tak mengenal takut,
Bermimpi akut.

Makassar, 25 April 2016


Minggu, 20 Maret 2016

Hujan

Saat rintik hujan membasuh tepi jalan,
Saat itu aku merasakan retrospeksi
Semacam relasi, sebuah tanda reaksi
Sampai akhirnya terdeteksi

Kau tahu apa itu ?
Bulir air yang ikut bersama rintik
Tak kala penghantar alun ritmik
Dari ujung pemisah diambang jarak

Air membasuhnya sampai ke dalam
Tiba-tiba saja tampak buram
Tanda bintang tak bersama malam
Disitu aku dan kau berdiam

Hujan selalu saja menjadi kenangan
Bahkan saat aku sendiri berangan,
Sampai aku tak melupakan
Ternyata aku terperangkap dalam hujan.

Bulukumba, 20 Maret 2016

Minggu, 07 Februari 2016

Kotak

Kotak Abu-abu itu
Memiliki ruang didalamnya
Terdiri atas tiang keegoisan
Ditutupi dinding permusuhan

Buka kotak itu, lalu lihat
Hanya terdengar suara ribut
Ditiap sisinya tak terasa lembut
Bagaimana bisa ? Tak ada yang menyambut

Yah kotak itu sudah usang
Pemiliknya tak lagi pulang
Berada di ujung jurang
Ditutupi payung petang

Kotak itu akan terus seperti itu
Biarpun awan dan kabut menjadi satu
Tak akan mengalun melodi merdu
yang terlihat keliru

Bulukumba, 07 Februari 2016

Minggu, 17 Januari 2016

WAKTU

Waktu...
Mampu merubah detik menjadi menit
Berlalu bersama kisah identik
Ada kala teringat di suatu titik

Waktu....
Nampak melingkar pada dinding
Diantara angka yang mengeliling
Ada suara yang bergeming

Waktu....
Tak akan pernah berhenti
Berputar dari pagi hingga nanti
Sampai akhir akan tetap menanti

Senin, 04 Januari 2016

SOSIOLOGI PELAJARAN FAVORITE

        Kali ini penulis blog pengen post mengenai kesehariannya sebagai pelajar SMA. Nah SMA kan masa-masa yang indah, gokil, lucu, pokoknya begitulah. Pasti ada satu hal yang bakal kita kangenin setelah kita lulus SMA. Kalau bukan teman-temannya, Guru-gurunya atau tidak dengan mata Pelajarannya.yahhh, berhubungan dengan mata pelajaran. Penulis blog yang satu ini suka banget dengan pelajaran yang berhubungan dengan Ilmu Sosial. Secara anak social sih.. tapi terlepas soal anak social atau tidak, dari dulu memang suka banget dengan pelajaran yang satu ini. Sejak SMP memang sudah tertarik dengan pelajaran IPS, dan Alhamdulillah saat di SMP pernah ngikutin lomba OSN IPS tapi sayangnya belum lolos. 

       Satu hal yang penulis ingat saat SMP yakni mengenai materi pelajaran Perang Dunia II, hehehe ada kesan tersendiri sih.. haha sama siapa yah ???? adalah pokoknya membuat saya menarik untuk menyukai pelajaran IPS sampai-sampai materi perang dunia II itu tidak bosan-bosannya saya baca sampai tanggalnya saja masih teringat.. yahh begitulah. Maaf flashback dulu ke massa-masa SMP.
  
       Nah saat masuk SMA, sebenarnya pernah salah pilih jurusan sih. Kan saat itu berkenaan dengan diterapkannya Kurikulum 2013, dimana anak kelas satu bisa langsung memilih jurusan sesuai bakat dan minatnya. Namun saya tidak memilih jurusan sesuai dengan kemampuan saya. Iya sih boleh dikata nilai IPAnya juga hampir setara dengan nilai IPS hingga pada akhirnya memilih IPA sebagi jurusan yang diambil, namun setelah memikirkannya ternyata saya lebih nyaman jika mengambil jurusan IPS.Selama di SMA ini pelajaran yang saya suka setelah jadi anak IPS, yaitu Sosiologi. Tahu tidak kenapa saya suka banget sama pelajaran  itu. Soalnya ketika kita belajar tentang sosiologi itu kita bisa merasakan soul IPS, belajar mengenai kehidupan social dimasyarakat. selain itu metode pembelajarannya terkesan ringan tapi serius juga mudah dipahami, apalagi kalau bukan metode diskusi metode yang paling membuat kita bisa merasakan kebebasan. Bebas dalam mengutarakan apa yang ingin kita sampaikan, berpendapat, dan menuntut kita untuk mendapatkan hasil atau solusi.

       Satu hal yang paling saya suka dalam belajar sosiologi ini pertama karena gurunya dan kedua karena teman-teman. Saya juga pengen ucapin banyak terima kasih buat guru sosiologi yang ngajar kita sudah hampir dua tahun. Banyak memotivasi untuk tetap menggali potensi yang dulunya kalo bicara didepan kelas tidak beraturan saat diskusi sekarang sudah mampu menyaingi anggota DPR saat melakukan sidang dengan deretan pertanyaan yang membutuhkan tingkat analisa yang tinggi. Banyak mengajarkan tentang bagaimana memiliki wawasan yang luas, mempertahankan argument meskipun terkadang teman ingin menguji  atau mematahkan setiap pendapat kita. Tapi disitulah keseruannya saat kita beradu pengetahuan dan saling berlomba dalam menyampaikan setiap pendapat.

       Terlepas dari guru, teman-teman juga sangat membantu. Ditempatkan di kelas unggulan IPS cukup membuat saya merasakan atmosfer yang berbeda, tentunya dengan pengetahuan diatas rata-rata. saya merasa beruntung, setiap apa yang kita utarakan, sedetail mungkin mereka memperhatikan. Bahkan dari permasalahan kecil saja bisa menjadi besar, dari hal yang biasa saja bisa menjadi hal yang luar biasa. Setiap pendapat yang dikemukakan pasti selalu memiliki umpan balik. Sampai-sampai saya dan teman-teman merasa tidak puas dengan waktu pembelajaran sosiologi yang sedikit dan dipenggal itu. Karena bagi kami dalam membahas satu permasalahan saja bisa sampai berjam-jam karena kita membahas segala aspek didalamnya sampai semuanya bisa menerima dan memahami.

       Itu saat kita semua masih kelas satu, sekarang saya dan teman-teman sudah kelas tiga sudah berada difase akhir. Tentunya sudah sangat berbeda seperti dulu, pengetahuan yang kita peroleh pun pasti bertambah. Dalam belajar sosiologi kelas tiga saya merasa sedang tidak belajar melainkan hanya sebuah bermain. Kenapa ? banyak hal baru yang kita peroleh yakni belajar sambil bermain. Bayangkan saja siswa mana yang menyebut dirinya sebagai Asisten Dosen menjelaskan setiap poin-poin pembalajaran. Berdiri sendiri didepan kelas menjelaskan layaknya seorang guru dan menanggapi setiap pertanyaan yang diajaukan sambil diiringi candaan.Mengaitkan setiap permasalahan masyarakat dalam berpendapat, bagaikan perwakilan dari suara masyarakat, memposisikan dirinya sebagai masyarakat dan sebagainya, memperagakan setiap aksi unik diiringi tawa. Pembelajaran terkesan santai namun pada akhirnya mudah dimengerti serta guru yang mengajar pun merasakan bukan seperti guru melainkan seperti pengamat yang mengamati setiap aksi dari setiap materi yang dibawakan oleh Asisten dosen.Ditunjuk secara langsung untuk menjelaskan didepan bukanlah hal yang mudah apalagi tanpa memegang buku, yang di pegang hanya sebuah Spidol dan Menulis segala apa yang kita pahami dan mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulut kita. 

       Ini sungguh pelajaran yang menakjubkan, guru yang bersahabat, teman yang berkualitas dan gokil mampu menciptakan komedi dalam kelas. Hahaha…

“Bagi saya pelajaran Sosiologi ini akan selalu teringat. Segala nuansa yang tercipta dengan konyol akan tersimpan dan begitu indah untuk dikenang.”     

Ingatan (7)


“Mama, Mbak Rena mana yah ..?” terdengar suara yang begitu khas menuruni tangga menuju ruang keluarga.
“Belum pulang, tumben nyari Kakaknya..” kata Perempuan parubaya  sedang asyik merapikan beberapa toples di atas meja. “Kayaknya lagi observasi, soalnya tadi minta izin sama Mama pulangnya mungkin telat..” lanjut perempuan parubaya itu.
“Pulangnya malem yah Ma..”
“Mama juga nggak tahu..”
“Mana handponenya nggak akif lagi..” kata Ayu duduk disebelah Mamanya.
“Ada yang penting yah..”
Ayu menangguk. “Iya, Ayu mau minta pertanggung jawaban Mbak Rena..” kata Ayu melipat kedua tanggannya.
“Pertanggung jawaban apa ?, kamu ini sukanya asal ngomong gitu..”
“Iya, soalnya Mbak Rena dua hari lalu katanya mau jemput aku di sekolah tapi malah nggak keliatan batang hidungnya. Mana pulangnyaa harus ujan-ujanan”
“Kamu ini, kan Mbak Rena lagi ada mata kuliah tambahan jadi nggak bisa jemput kamu.” kata Permpuan itu  yang kerap kali dipanggil Ibu Sari oleh tetangganya.  
“Tapi tetap aja Ma, Mbak Rena udah janji…” kata Ayu mecicipi beberapa jenis kue yang diletakkan Mama nya diatas meja. “Lagian Mbak Rena mau aku minta buat beliin buku doang sekalian tebus janjinya..” Lanjut Ayu cengengesan.
“Kamu ini, sama kakak sendiri digituin..”
“Biarin..”
“Mentang-mentang dimanja banget sama kakaknya”
“Yah begitulah Ma, namaya juga kakak. Setidaknya harus ikuti setiap kemauan adeknya..” kata Ayu tersenyum lebar. 
“Kamu ini..” kata Ibu Sari menggeleng-gelengkan kepalannya melihat tingkah anak bungsunya.
“Ma, minggu depan aku jadi ke Yogya..”
“Semua persiapannya udah disiapin ?.”
“Belum Ma, nah aku butuh banget refrensi buku.”
“Yang disuruh beli sama Mbak Rena yah ?”
“Iya Ma” mengangguk penuh harap. “Kalo gitu, Ayu balik ke kamar dulu yah Ma mau istirahat.” kata Ayu beranjak menaiki taangga.
Tak terdengar sahutan dari Ibu Sari, mengerti dengan maksud anak bungsunya yang akhir ini ia perhatikan sangat sibuk dengan berbagai tugas sekolah. Tumpukan-tumpukan kertas dan beberapa buku kerap kali menghiasi meja belajar Ayu setiap ia membereskan beberapa barang yang tidak terpakai di kamar putri bungsunya.

*****
Berbagai buku tertumpuk diatas rak dihiasi oleh berbagai jenis kata motivasi, tertempel ditiap-tiap dinding dihiasi oleh beberapa foto penulis favoritnya. Seorang foto penulis berhasil membuatnya tertarik dalam menjelajahi dunia tulis menulis. foto penulis yang tenar dengan judul buku “Perahu Kertas” mampu menarik keajaiban dalam dirinya untuk menulis. disamping kanan, foto komedian juga sebagai penulis terpajang menghiasi dinding kamarnya. Foto-foto itu menjadi energy untuk Ayu untuk tetap bertahan meski terkadang merasa lemah dan gagal. Namun kelak ia yakin bisa seperti mereka.
Hal favorite ketika Ayu bisa menikmati kesendiriannya di dalam kamar, berimajinasi dan berangan-angan seperti apa dirinya lima tahun mendatang. Apakah ia mampu meraih impiannya ? pertanyaan dalam dirinya yang kerap kali muncul. Sayangnya ia juga tak menemukan jawaban. Play musik dari ponselnya terkadang menjadi pilihan lain ketika ia sedang bersantai. Lirik lagu dalam setiap bait memberikannya sebuah ketenangan.
Pikiran Ayu mulai mengingat beberapa hal, masih sebuah pertanyaan dalam dirinya. Yah pikirannya mengarah pada sosok Rio, teman sekelas yang akrab dengan dirinya baru-baru ini. Sejenak Ayu teringat dengan ucapan Rio beberapa bulan lalu saat bersama-sama mendaki di bukit Bintang. “Keajaiban di bukit Bintang ?” seolah memaknai perkataan Rio, Ayu perlahan mulai mengerti mungkin saja keajaiban itu antara dirinya dengan Rio yang tanpa terduga bisa seperti ini.
“Ayu jangan berpikir dengan penuh harap,, sadar lu itu cuman dianggap teman nggak lebih” kata-kata dalam hati Ayu seketika menyadarkannya untuk tidak berharap begitu kontras dengan apa yang ada di otaknya. 
 “Sikap Rio, perhatiannya, itu tidak lebih dari kepeduliaanya sebagai teman..”  kata-kata itu muncul dari dalam diri Ayu, sebuah peringatan agar ia tidak begitu berharap.
Ketukan pintu dari luar, menyadarkan Ayu untuk segera bangkit membuka pintu. Dibukanya pintu itu wajah Ayu penuh dengan tanda tanya. Seorang perempuan seumur dengannya mengenakan dres berwarna biru terlihat cantik dan anggun.
“Ika ? ini lu ?”
“Iya..”
“Ngapain malem-malem ke rumah pake pakaian kaya gitu ?”
“Lu mah kebiasaan yah, harusnya tamu itu di suruh masuk dulu..”
“Yaudah masuk ..” kata Ayu berjalan menuju kursi di sebelah tempat tidurnya. “Btw lu belum jawab pertanyaan gua, tumben kesini malem-malem ?” sambung Ayu
“Mau ajakin lu nonton..” kata Ika melebarkan sedikit senyum
Ayu melongos “Nonton ? gua nggak salah dengerkan..” kata Ayu dengan penuh tanda tanya. “Jangan bilang lu mau jadiin gua obat nyamuk, trus lu ngedate dengan Hendra..”
Ika hanya tersenyum, pertanda bahwa apa yang dikatakan Ayu itu benar.
“Ayolah  Yu, kan lu teman gua yang paling baik…” kata Ika penuh harap.
“Tolonglah kali ini aja..” Bujuk Ika lagi.
Ayu nampak berpikir sejenak, menimbang-nimbang tawaran Ika setidaknya itu bukanlah hal yang buruk. Berada di dalam kamar juga membuatnya merasa bosan.
“Yaudah gua mau..”
“Yes!”
“Tapi untuk kali ini aja”
“Oke..”
“Awas kalo lu ngajak gua lagi..”
“Iya, cerewat amat sih.. buruan ganti baju”
Ayu tak menggubris perkataan Ika dan berjalan menuju lemari yang berada di sebelah meja belajarnya. Begitu banyak baju tersusun rapi disetiap raknya. Ayu pun mencoba beberapa baju yang ada di dalam lemarinya.
“Bagus nggak ?” Tanyanya di depan Ika
Ika yang melihat penampilan Ayu dari ujung kaki hingga kepala, mengharuskannya untuk berkomentar. Yahh temannya yang satu ini memang memiliki tren pakaian sendiri. Simple dan unik tapi terlihat kuno.
“Menurut lo gue setuju ?” jawab Ika ketika puas memperhatikan Ayu dari atas hingga ke bawah.
“Pastinya lu harus setuju..”
“Nggak, ganti. emang nggak punya baju lain apa ?” kata Ika komplein “ lu pake rok kek atau apa yang jelas bukan jeans”
“Hello emang kita mau ke kondangan cuman nonton doang kali.” kata Ayu. “Gua nggak punya baju kayak gitu, lu kan tahu gua nggak suka pake baju gituan.”
“Ya ampun Ayu, lu tuh kebangetan banget yah..”
“Emang…”
“Biar gua yang cariin deh, minggir” kata Ika mengacak-acak beberapa baju yang ada di lemari Ayu.
“Nihh ketemu..”
“Lu serius mau nyuruh gua pake baju yang ini ?”
“Iya, ada yang salah ?”
“Ya ampun, masa gua di suruh pake Dress sih..” keluh Ayu.
“Udah deh, nggak usah ngeluh. Buruan ganti…”
Tanpa berkata lagi Ayu bangkit dan menuruti perkataan Sahabatnya yang terkadang membuatnya harus beradu mulut dalam hal pakaian.
Beberapa menit kemudian mata Ika tak berhenti berkedip melihat seseorang di depannya begitu anggun dengan  Dress berwarna merah sesuai dengan postur tubuhnya yang ideal tapi tetap natural dengan rambut terurai. 
“Kenapa ? udah puas liat gua kayak gini..” kata Ayu sebal
Ika mengusap-usap kedua matanya. “Sumpah, lu cantik banget Yu,” melihat Ayu dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Gua sampe pangling liat lu.”
“Biasa aja, gua malah risih tau..”
“Karena lu nggak biasa, padahal lu cantik banget kalo pakai pakaian kaya gitu.”
“Udah deh, nggak usah berlebihan. Jadi berangkat nggak..”
“Jadi dong..Yukk”
*****

“Lu yakin janjian sama Hendra nonton disini ?” Tanya Ayu gelisah setelah hampir lima belas menit menunggu di depan loket.
“Iya, dia tadi BBm gua tempatnya. Tapi kok belum nongol yahh..”
“Lu telephone deh..”
“Okk, tunggu yah..”
Ika beberapa kali menekan tombol call tapi tak ada jawaban, ia mencoba dan akhirnya diangkat.
“Sekarang dimana ? aku udah ada di depan loket nihh.” Tanya Ika dari seberang telephone
“Dibelakang kamu..” jawab Hendra.
Ika heran mendengar jawaban Hendra kemudian berbalik kearah belakang ternyata benar Hendra berada disana dan berdiri bersama sahabatnya.
“Ayu, lu kok nggak manggil sih…” kata Ika nampak salah tingkah
“Yahh kan lu lagi nelpon nggak sopan tahu…”
“Ohh iya, Maaf yah telat udah buat kalian nunggu.” kata  Hendra memotong pembicaraan Ika dan Ayu.
“Iya gak apa-apa..” sambar Ayu.
“Yaudah masuk yuk, udah pesan tiket kan...” kata Hendra
“Udah dong, udah gua pesanin. Ini…” kata Ayu sambil menyodorkan dua tiket yang sedang ia pegang.
“Loh kok cuman dua Ayu, gua kan tadi minta tiga..”
“Yahh gua lagi malas nonton nih, lu nikmatin ajalah lagian gua nggak mau ganggu orang yang lagi dimabuk cinta..” kata Ayu menggoda sahabatnya.
“Masa gitu sihh, kita malah seneng kalo lu juga nonton. Iya kan Ndra..? kata Ika melirik Hendra yang berdiri disampingnya.
“Iya..kita seneng kok.”
“Nggak deh, lagian gua mau cari-cari buku juga. Gua pergi dulu yah..” kata Ayu berjalan menjahui Ika dan Hendra. “Oww iya, gua hampir lupa. Lu Bbm gua aja yah kalo udah nonton..”
“Okk sip..” jawab Ika.
Ayu berjalan menuju toko buku langganannya yang terletak di lantai tiga. Ia berharap bisa menemukan beberapa buku yang bisa dijadikan refrensi dalam penulisan essainya di Yogya.
Begitu banyak orang yang berada di toko itu hampir tak pernah luput dari pengunjung. Penyediaan bukunya yang lengkap menjadikan toko tersebut menjadi toko favorite bagi pengunjung yang terletak di salah satu mall di Jakarta timur.
Arahan langkah kaki Ayu membawanya di salah satu rak buku dengan berbagai pengarang ternama yang tercantum didalamnya. Tak salah lagi sebuah buku dengan tebal sekitar dua ratus lembar berhasil menariknya untuk membeli buku tersebut dengan harga yang lumayan mahal. Namun bagi Ayu, tak ada yang lebih mahal jika itu adalah sebuah ilmu dan pengetahuan. Jadi wajarlah, setiap yang berhubungan pengetahuan ia tak segan-segan jika harus mengeluarkan biaya yang mahal.
Selepas membeli buku, Ayu beranjak ingin membeli beberapa minuman. Berjalan-jalan sendirian cukup membuatnya merasakan haus hingga ia memasuki sebuah mini café dengan nuansa klasik dihiasi dengan warna coklat. Tempat itu seakan sudah menyatu dengan jiwa Ayu, bukan masalah tentang kenangan di tempat itu melainkan tentang kebiasaan Ayu yang tak pernah absen mengunjungi tempat itu.
“Boleh duduk disini ?” kata seorang laki-laki yang berdiri di hadapan Ayu.
Ayu mengangkat kepala mengarahkan pandangannya kepada orang yang berada dihadapannya dengan menorehkan sedikit senyum.
“Oww iya silahkan..” jawab Ayu.
Laki-laki itu kemudian duduk dengan senyum yang mengembang di pipinya yang ternyata adalah Rio.
“Suka nongkrong disini juga yah ?” Tanya Rio ketika hendak melihat-lihat buku menu yang terletak di meja
“Iya, ini tempat favorite gua nongkrong.”
“Oww gitu”
“Lu sendiri tumben kesini..”
“Nggak kebetulan lewat aja,trus liat kedalam ada lu. Jadi gua masuk..”
“Apa hubungannya dengan gua ?” Tanya Ayu heran mendengar ucapan Rio barusan.
“Yah gua lihat lu sendiri, nggak baik kan liat temen nongkrong sendiri kaya nyamuk ditinggal temen-temennya.” kata Rio tersenyum puas
“Mulai dehh. Gua nggak sendiri kok..”
“Terus lu bareng siapa ?” Tanya Rio “Disini kayaknya nggak ada oang kecuali gua sama lu, selebihnya pengunjung yang nggak dikenal”
“Gua bareng Ika sama Hendra, tapi mereka berdua lagi nonton..” jawab Ayu tanpa sadar. “Upss,, maksud gua tadi dia ngajakin gua nonton bareng tapi gua males nonton jadi gua jalan-jalan kesini.”
“Yang bener…” kata Rio penuh curiga
“Iyalah, menurut lu..”
“Kalo menurut gua ada yang lu sembunyiin..”
“Apaan sih, emang kita lagi main petak umpet apa..”
“Gua tahu kok, lu nggak usah bohong gitu. Ketabak tau”
“Apa sih….” kata Ayu bingung
“Permisi, ini minumannya..” kata pelayan hendak menaruh minuman pesanan Rio
“Iya, makasih mbak..” jawab Rio.
Keduanya pun saling menatap satu sama lain, hingga akhirnya pun ia sadar bahwa ini bukanlah hal yang wajar. Terlihat suasana menggambarkan dimensi mereka berdua. Hal yang tak pernah dipikirkan Ayu sebelumnya tentang Rio.
“Lu kenapa ?” Tanya Rio berusaha mengalihkan matanya, seketika takjub melihat perempuan yang berada di depannya.
“Nggak kenapa-kenapa, gua duluan yah..”
“Lohh, pesanannya baru aja datang..”
“Nikmatin aja, ada keperluan soalnya.” kata Ayu dengan  senyum yang mengembang di pipinya.
******
Deringan ponsel Ayu terdengar dari dalam tas, ia kemudian menghentikan langkahnya diantara hiruk-pikuk keramaian di sekelilingnya. Terdengar teriakan para sales promotion girl menawarkan berbagai jenis produk hingga memadati tempat yang menyediakan diskon besar-besaran.
Ayu pun mengangkat handphonenya. “Hallo, iya.”
“Lu sekarang dimana ?” kata Ika dari arah seberang. “Kok kedengaran bising banget, suara lu putus-putus nih.”
“Gua ada di lantai bawah, emang udah mau balik yah..”
“Iya, tunggu gua yah..”
“Kayaknya gua balik sendiri yah, soalnya gua udah ada di luar nih dekat parkiran.”
“Masa lu pulang sendiri kan gua yang ajakin kesini.”
“Nggak apa-apa. Oh  iya pulangnya diantar Hendra aja.” kata Ayu kemudian memutuskan untuk mengakhiri panggilan Ika.


******

Curhat Tak Berujung (6)


Jam istirahat Ayu banyak menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama Iyan juga Ika di halaman depan kelasnya, tidak ada  hal menarik dalam pembicaraan mereka. Hanya sebuah candaan kecil dihiasi dengan tawa Iyan yang unik.
“Bukan gitu Iyan, tapi kayak gini..” kata Ika menambahkan, bangkit dari duduknya. Memperagakan aksi pak Tono dengan logak jawanya..
“Haha.. Asli mirip banget, medoknya itu loh..” kata Iyan tertawa lepas.
“Lu berdua emang hobi banget yah,, itu namanya punya ciri khas” kata Ayu . “Lagian Pak Tono baik kok, meski kadang-kadang kaya gitu. Hehe” Tambahnya.
“Iya juga sih..” kata Ika sependapat dengan Ayu.
Dari arah jauh terlihat seseorang menghampiri mereka bertiga, berjalan setenang mungkin namun tanmpak gugup. Sebisa mungkin untuk menghilangkan rasa takutnya.
“Perr..misi Kak” sedikit terbata-bata. “Mau nanya Kak Rio nya ada di dalam nggak kak ?” kata perempuan tinggi itu, persis dihadapan Ayu, Iyan dan juga Ika.
Terlihat kegugupan perempuan itu ketika harus bertatap muka dengan seniornya.
“Oww fans Rio toh, lagi di ruang seni kali..” sambar Iyan asal
“Lagi nggak ada dikelas dek, mungkin aja ke ruang seni” tambah Ayu
“Gitu yah kak, maaf menganggu.”
“It’s okay, Santai ajalah..” kata Iyan tersenyum lebar
Dengan cepat gadis cantik dengan tampan lugu itu segera berlalu meninggalkan Iyan, Ika dan Ayu.  Suasana kembali dipenuhi gelak tawa.
****
Entah mengapa mata Rio tak henti-hentinya menatap lukisan yang terpajang di sudut ruangan cukup luas itu. Lukisan dibuatnya dua tahun lalu saat dirinya ingin menggelar pameran lukisan merupakan bukti tentang ketertarikannya dengan dunia lukis, satu hal Rio yakin itu bukanlah kebetulan.  Nyaris mengingat kembali kejadian kemarin sore di toko buku, hatinya dipenuhi sejuta pertanyaan yang tak bisa dijwabnya tanpa penjelasan Ayu.
“Mengapa dunia ini terlalu sempit. Terlalu sempit untuk bisa bertemu lagi dengan Rira dan terlalu sempit untuk mengenal Ayu, sosok seperti Rira” batin Rio.
Mata Rio tetap menatap lekat-lekat lukisan itu, suara seseorang didekatnya pun tidak digubrisnya.
“Kenapa Rio ? kok melamun” kata perempuan itu dengan lembut, menyadarkan Rio dari lamunannya.
“Ahh, lagi lihat-lihat saja Bu..” kata Rio terbata-bata
“Oww, berhubung kamu disini kebetulan sekali ada event baru yang diselenggarakan  beberapa Universitas ternama di Yogya. Hadiahnya lumayan. Kamu mau ikut ?” menyodorkan beberapa lembaran kertas berisi persyaratan dan formulir pendaftaran. “Kalo pengen ikut segera balikin ke Ibu yah..”
“Iya Bu..” kata Rio singkat
“Tapi Ibu bisa minta tolong, jangan lupa beritahu Ayu kalo eventnya diadakan dua minggu lagi..”
“Ayu ?, dia juga ikut ?” Rio nampak heran mendengar nama itu, baru kali ini Ayu ingin mengikuti lomba semacam itu
“Iya, dia tercatat sebagai perwakilan sekolah dalam event itu.”
“Berarti saya, juga Ayu sebagai perwakilan Sekolah ? kok bisa ?”
“Kamu ini masa temen sekelas saja tidak tahu bakat temanmu. Ayu itu pintar dalam hal menulis dan merangkai  kata. Kalo begitu Ibu tinggal dulu yah..” kata Ibu Nita selaku guru Seni
Tak ada jawaban dari Rio setelah mendengar penjelasan Ibu Nita, Rio juga tak pernah berfikiran bahwa Ayu ternyata memiliki bakat terpendam yang tak pernah ia tunjukan kepada teman-temannya selama tiga tahun terakhir ini. Ketertarikannya membaca berbagai Buku sebagai penopang dalam mengembangkan bakatnya. Hampir tiga tahun sekelas dengan Ayu, Rio tak pernah menduga semuanya, sikap Ayu saat dirinya pertama kali bertemu dan duduk di kelas yang sama tidak terlihat, seakan ia mencoba menutup-nutupi kemampuan yang dimilikinya. Rio cukup beruntung saat ini ia bisa mengenal Ayu lebih dekat sebagai sosok berbeda dengan perempuan lainnya hingga akhirnya Rio bisa sedikit membuka diri terhadap orang lain setelah kenangan bersama Rira yang masih membekas.
*****
“Iyan, liat Ayu nggak ?” kata Rio ketika melihat Iyan berdiri di halaman kelas.
“Baru aja ke Perpustakaan” menunjuk kearah kanan ruang guru. “Ciee makin dekat aja lu sama sahabat gua” kata Iyan tersenyum manis.
“Apaan sih kan sama-sama temen kali,  yaudah thanks yah” berlari kecil meninggalkan Iyan
“Ehh gua hampir lupa, ada adik kelas yang nyariin lu tadi..” kata Iyan sedikit berteriak setelah Rio sudah berada cukup jauh darinya.
Rio tak menggubris sedikit pun perkataan Iyan, ia tetap berlari kecil menuju perpustakaan. Ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Ayu tapi Rio tak ingin orang lain tahu. Setibanya di Perpustakaan Rio menggerakkan bola matanya kesemua sedut ruangan alhasil ia bisa menemukan sosok Ayu yang berdiri disebelah kiri meja panjang perpustakaan.
“Ayu..” dengan spontan Rio memanggil Ayu tanpa memperhatikan orang-orang disekelilingnya bahwa ternyata  ia sedang berada di perpustakaan.
“Husstttt..” kata Ayu bebralik kearah sumber suara itu dan seketika memberikan tanda peringatan kepada Rio dengan bahasa tubuhnya yang menyadarkan Rio bahwa ini perpustakaan.
Seketika mata semua orang tertuju pada mereka berdua. Ayu merasa cukup malu dengan tingkah Rio yang begitu konyol. Setiap tatapan mata di dalam ruangan itu memberikan arti yang berbeda. Seolah ada hal lain yang mereka tangkap mengenai Rio dan Ayu. Rio menyadari hal tersebut dan berusaha meminamalisir keadaan.
“Ada yang pengen gua omongin” kata Rio berbisik pelan tepat disebelah Ayu.
“Apa ?” kata Ayu singkat dan secuek mungkin
“Nggak usah banyak ngomong, nanti gua jelasin”
 Ayu hanya mengangguk.
“Kalo gitu gua tunggu lu di bawah pohon dekat parkiran sekolah, lima menit dari sekarang!..”
Ayu kembali mengangguk dan menuruti semua perkataan Rio.  Ayu nampak begitu kesal, setidaknya Rio bisa membaca keadaan bahwa ini adalah perpustakaan. Rasa malu cukup terpancar dari wajah natural tanpa polesan bedak sedikitpun. Adik kelas yang berada di ruangan itu  mulai menatap Ayu, entah kenapa tatapan itu seolah penuh dengan kecurigaan mengenai hubungannya dengan Rio yang hanya sebatas teman kelas.
“Kak..” terdengar suara yang memanggilnya ketika hendak keluar dari perpustakaaan.
“Iya..” jawab Ayu
“Teman sekelasnya kak Rio yah..
“Iya, ada apa yah dek ?”
“ Kak bisa minta tolong nggak maintain nomor handphone Kak Rio, tolong yah kak”
“Dicoba yah dek, tapi nggak janji yah.”
“Iya deh Kak, makasih yah. Jangan lupa bilang sama kak Rio katanya salam dari                Angel yah kak..”
“Iya, kalo gitu kakak duluan yah…”
****
“Lama banget..” kata Rio ketika Ayu berdiri dihadapannya.
“Iya lama ngurusin fans lu..” kata Ayu berada di dekat Rio
Rio heran mendengar perkataan Ayu barusan kemudian tertawa. “Hahaha…” sambil tersenyum  lebar kepada Ayu. “Fans  yang mana ? fans gua banyak kali..”
“Mana gua tahu, katanya minta nomor handpone lu, salam buat lu dari Angle.”
“Ohh” kata Rio singkat
“Lu cuman bilang Ohh, nggak ada niat lu apa untuk bilang salam balik kek atau apa..”
“Emang gua harus gitu ?”
“Setidaknya lu bisa care juga dengan meraka, jangan cuek gitu..” kata Ayu dengan sedikit kesal mendengar tanggapan Rio. “Lu ini sebagai contoh, seorang seniman sekolah dan siswa yang smart, tapi cara lu menghargai seseorang nol.”
“Jadi menurut lu gua seperti itu ?”
“Gua sempat berpikiran lu adalah tipe orang yang sombong dan itu benar. Sekelas selama hampir tiga tahun dan baru akrab kelas tiga membuat gua sadar bahwa lu cukup tertutup dengan orang baru apalagi gua sosok yang tak pernah terlihat sama lu saat kelas satu.
“Itu dulu, tapi gua punya alasan sendiri mengapa seperti itu bahkan gua nggak menuntut lu semua harus care dengan gua..”
“Iya, tapi bisa kan hargain setiap orang yang ingin menjalin hubungan baik dengan lu, sikap cuek lu terkadang membuat orang lain merasa sakit.”
“Sakit ? maksudnya ?”
“Gini, jika lu berada di posisi mereka trus lu punya maksud baik terhadap orang yang lu kagumi dan orang tersebut tak menghiraukan sedikit pun, juga bersikap cuek seperti apa yang lu lakuin kepada mereka. Apa yang lu rasain ?”
“biasa aja” kata Rio membohongi kata hatinya.
“Nggak nyangka jawaban lu bakal sedangkal itu. Coba hargain orang lain Rio. Lu bukan artis dan juga bukan presiden. Lu hanya seseorang yang setidaknya bisa dibanggakan oleh sekolah karena prestasimu.” kata Ayu duduk di samping Rio. “Mungkin bagi gua, iya gua bisa berubah pikiran setelah gua akrab dengan lu tapi yang lain…”
Rio tampak terdiam, banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada perempuan yang berada di sampingnya. Rangkaian kata-kata telah tersusun rapi dalam otaknya
“Tapi pernah tidak berpikiran berada diposisi gua dengan sejuta masalah yang gua hadapin, semua itu tidak seperti penilain lu, gua punya alasan.”
“Maksudnya ?”
“Gua nggak tahu cara bersosialisasi lagi dengan orang lain bahkan gua lupa bagaimana bisa dekat lagi dengan orang lain, menjalin hubungan dengan kalian itu bukanlah hal yang mudah, kehilangan sosok Ibu cukup membuat gua kehilangan sosok inspirasi yang selalu memberikan arahan untuk menjadi anak yang peduli terhadap orang lain.”
“Jadi selama ini Ibu lu ?”
“Iya Ibu sudah meninggal, saat gua lulus SMP dan sekarang hanya tinggal sama Ayah. Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga gua ketemu sosok perempuan yang bisa care lagi dengan gua seperti Ibu. Menjalani hari-hari bersama, tertawa, hingga akhirnya gua jatuh cinta dengan dia  tapi harus rela kehilangan dan itu adalah Rira”.
“Deegggg….”
Ayu cukup kaget mendengar nama itu, jantungnya seakan berhenti berdetak bahkan ia bisa mengingat persis wajah sepupunya yang telah ia kecewakan. Ayu mengingat kembali kejadian setahun lalu saat ia harus kehilangan sosok Mbak Rira.
“Jadi selama ini lu pernah berhubungan dengan Mbak Rira, gua nggak nyangka dan baru tahu sekarang..”
“Iya, gua hanya bisa cerita sama lu.”
“Kenapa harus gua ?”
“Lu adalah orang yang gua percaya..”
“Tapi apa yang lu omongin barusan gua bisa rasain, ketika harus kehilangan sosok yang kita sayangi dan itu memang sangat sulit.” Mata Ayu terus menerawang mengingat kejadian itu. “Mendengar cerita lu mengingatkan gua tentang kejadian setahun lalu saat gua harus kehilangan sosok teman sekaligus keluarga, itu adalah posisi tersulit untuk gua hingga bisa bangkit seperti sekarang..” lanjut Ayu.
“trus apa yang lu lakuin untuk bisa bangkit ?”
“Yahh gua cuma bisa bertahan, dan berharap suatu saat semuanya akan kembali seperti dulu lagi..”
“Lu benar, semua akan indah pada waktunya..”
Suasana diantara keduanya hening, pandangan mereka terpencar di setiap sudut sekolah pada halaman parkiran. Ayu menerawang dan berusaha mengingat kembali tentang kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan, sementara Rio mengarahkan pandangannya ke arah jalan raya tanpa luput dari ingatannya sosok yang pernah mengisi hidupnya.
“Ayu, lu kenal baik dengan Rira ?”  Rio angkat bicara memecah keheningan diantara mereka tanpa menengok kearah Ayu, arah pandangannya masih tertuju ke jalan raya.
Ayu mengarahkan pandangannya kepada Rio. “Iya, dia sepupu gua..” kalimat yang baru terucap dari bibir Ayu sontak membuat Rio tak percaya, mengalihkan pandangannya kepada sosok Ayu.
“Kalian berdua sepupu..”
“Iya..”
“Tapi, Rira nggak pernah cerita tentang lu ke gua..”
“Entahlah, mungin mbak Rira punya alasan sendiri”.
“Kalo gua liat sepertinya lu berdua pernah ada masalah ? kalian berdua tampak canggung ketika bertemu beberapa hari lalu..”
Ayu sejenak menunduk “Ternyata lu cukup pintar mengamati keadaan” kata Ayu menghela napas panjang. “Kita berdua memang pernah dekat layaknya seorang sahabat, kesalahpahaman yang membuat kita berdua saling menjauh..”
“Kesalahpahaman ?” kata Rio memotong pembicaraan Ayu.
“Saat itu adalah posisi tersulit gua ketika harus memilih antara pertemanan atau rasa suka yang hanya sementara. Tindakan gua terlalu labil tanpa menghiraukan perasaan orang lain.”
“Maksud lu ?”
“Saat itu, hubungan mbak Rira dan Yogi sedang ada masalah. gua berniat buat mereka berdua baik lagi, tapi sikap Yogi kepada gua membuat mbak Rira semakin kecewa. Ketika Yogi memilih gua untuk mengganti posisi mbak Rira dan gua terlalu bodoh untuk menerimanya hanya karena rasa yang hanya sementara itu..” suara Ayu tampak bergetar, pikirannya melayang pada kejadian setahun lalu.
“Gua terlalu bodoh…” lanjut Ayu dengan air yang mulai menetes dari pelipis matanya.
“Lu nggak bisa terus-terus nyalahin keadaan. Gua yakin lu nggak pernah sedikit pun punya niat buat nyakitin orang lain, gua cukup mengenal lu meskipun gua baru akrab dengan lu..” kata Rio tanpa sengaja menepuk pundak Ayu.
“Tapi apa yang gua lakuin itu bukanlah hal benar..”
“Tapi lu cukup belajar dari hal itu dan berhenti untuk menyalahkan diri sendiri. Toh sekarang hubungan kalian berdua sudah membaik…”
“Tapi Rio..”
“Tapi apa ? bukannya calon penulis bebas harus tahan banting dan terus menatap ke depan..” kata Rio berusaha menorehkan senyum diwajah Ayu.
“Apalagi dua minggu kedepan ada yang lagi ke Yogya..” lanjut Rio melirik kearah Ayu.
“Apaan sih, lu kok tahu ?”
“Iya taulah secara kita barengan berangkatnya dan lu harusnya beruntung bisa sama gua orang paling teristimewa di sekolah ini..”
“Idihh, PD banget ngomongnya..” terlintas senyum yang mengenmbang dari wajahnya.
“Emang”
“Aneh, gua nggak nyangka dibalik sisi loh yang cuek itu, lu juga bisa bercanda..” kata Ayu tertawa puas.
“Gua juga nggak nyangka dibalik sisi lu yang polos ternyata pernah terperangkap dalam masa lalu..”  kata Rio tersenyum puas, berhasil membuat Ayu tak bisa berkata-kata.


*****