Waktu...
Mampu merubah detik menjadi menit
Berlalu bersama kisah identik
Ada kala teringat di suatu titik
Waktu....
Nampak melingkar pada dinding
Diantara angka yang mengeliling
Ada suara yang bergeming
Waktu....
Tak akan pernah berhenti
Berputar dari pagi hingga nanti
Sampai akhir akan tetap menanti
Minggu, 17 Januari 2016
Senin, 04 Januari 2016
SOSIOLOGI PELAJARAN FAVORITE
Kali ini
penulis blog pengen post mengenai kesehariannya sebagai pelajar SMA. Nah SMA
kan masa-masa yang indah, gokil, lucu, pokoknya begitulah. Pasti ada satu hal
yang bakal kita kangenin setelah kita lulus SMA. Kalau bukan teman-temannya,
Guru-gurunya atau tidak dengan mata Pelajarannya.yahhh,
berhubungan dengan mata pelajaran. Penulis blog yang satu ini suka banget
dengan pelajaran yang berhubungan dengan Ilmu Sosial. Secara anak social sih..
tapi terlepas soal anak social atau tidak, dari dulu memang suka banget dengan
pelajaran yang satu ini. Sejak SMP memang sudah tertarik dengan pelajaran IPS,
dan Alhamdulillah saat di SMP pernah ngikutin lomba OSN IPS tapi sayangnya
belum lolos.
Satu hal yang penulis ingat saat SMP yakni mengenai materi pelajaran Perang Dunia II, hehehe ada kesan tersendiri sih.. haha sama siapa yah ???? adalah pokoknya membuat saya menarik untuk menyukai pelajaran IPS sampai-sampai materi perang dunia II itu tidak bosan-bosannya saya baca sampai tanggalnya saja masih teringat.. yahh begitulah. Maaf flashback dulu ke massa-masa SMP.
Nah saat masuk SMA, sebenarnya pernah salah pilih jurusan sih. Kan saat itu berkenaan dengan diterapkannya Kurikulum 2013, dimana anak kelas satu bisa langsung memilih jurusan sesuai bakat dan minatnya. Namun saya tidak memilih jurusan sesuai dengan kemampuan saya. Iya sih boleh dikata nilai IPAnya juga hampir setara dengan nilai IPS hingga pada akhirnya memilih IPA sebagi jurusan yang diambil, namun setelah memikirkannya ternyata saya lebih nyaman jika mengambil jurusan IPS.Selama di SMA ini pelajaran yang saya suka setelah jadi anak IPS, yaitu Sosiologi. Tahu tidak kenapa saya suka banget sama pelajaran itu. Soalnya ketika kita belajar tentang sosiologi itu kita bisa merasakan soul IPS, belajar mengenai kehidupan social dimasyarakat. selain itu metode pembelajarannya terkesan ringan tapi serius juga mudah dipahami, apalagi kalau bukan metode diskusi metode yang paling membuat kita bisa merasakan kebebasan. Bebas dalam mengutarakan apa yang ingin kita sampaikan, berpendapat, dan menuntut kita untuk mendapatkan hasil atau solusi.
Satu hal yang paling saya suka dalam belajar sosiologi ini pertama karena gurunya dan kedua karena teman-teman. Saya juga pengen ucapin banyak terima kasih buat guru sosiologi yang ngajar kita sudah hampir dua tahun. Banyak memotivasi untuk tetap menggali potensi yang dulunya kalo bicara didepan kelas tidak beraturan saat diskusi sekarang sudah mampu menyaingi anggota DPR saat melakukan sidang dengan deretan pertanyaan yang membutuhkan tingkat analisa yang tinggi. Banyak mengajarkan tentang bagaimana memiliki wawasan yang luas, mempertahankan argument meskipun terkadang teman ingin menguji atau mematahkan setiap pendapat kita. Tapi disitulah keseruannya saat kita beradu pengetahuan dan saling berlomba dalam menyampaikan setiap pendapat.
Terlepas dari guru, teman-teman juga sangat membantu. Ditempatkan di kelas unggulan IPS cukup membuat saya merasakan atmosfer yang berbeda, tentunya dengan pengetahuan diatas rata-rata. saya merasa beruntung, setiap apa yang kita utarakan, sedetail mungkin mereka memperhatikan. Bahkan dari permasalahan kecil saja bisa menjadi besar, dari hal yang biasa saja bisa menjadi hal yang luar biasa. Setiap pendapat yang dikemukakan pasti selalu memiliki umpan balik. Sampai-sampai saya dan teman-teman merasa tidak puas dengan waktu pembelajaran sosiologi yang sedikit dan dipenggal itu. Karena bagi kami dalam membahas satu permasalahan saja bisa sampai berjam-jam karena kita membahas segala aspek didalamnya sampai semuanya bisa menerima dan memahami.
Itu saat kita semua masih kelas satu, sekarang saya dan teman-teman sudah kelas tiga sudah berada difase akhir. Tentunya sudah sangat berbeda seperti dulu, pengetahuan yang kita peroleh pun pasti bertambah. Dalam belajar sosiologi kelas tiga saya merasa sedang tidak belajar melainkan hanya sebuah bermain. Kenapa ? banyak hal baru yang kita peroleh yakni belajar sambil bermain. Bayangkan saja siswa mana yang menyebut dirinya sebagai Asisten Dosen menjelaskan setiap poin-poin pembalajaran. Berdiri sendiri didepan kelas menjelaskan layaknya seorang guru dan menanggapi setiap pertanyaan yang diajaukan sambil diiringi candaan.Mengaitkan setiap permasalahan masyarakat dalam berpendapat, bagaikan perwakilan dari suara masyarakat, memposisikan dirinya sebagai masyarakat dan sebagainya, memperagakan setiap aksi unik diiringi tawa. Pembelajaran terkesan santai namun pada akhirnya mudah dimengerti serta guru yang mengajar pun merasakan bukan seperti guru melainkan seperti pengamat yang mengamati setiap aksi dari setiap materi yang dibawakan oleh Asisten dosen.Ditunjuk secara langsung untuk menjelaskan didepan bukanlah hal yang mudah apalagi tanpa memegang buku, yang di pegang hanya sebuah Spidol dan Menulis segala apa yang kita pahami dan mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulut kita.
Ini sungguh pelajaran yang menakjubkan, guru yang bersahabat, teman yang berkualitas dan gokil mampu menciptakan komedi dalam kelas. Hahaha…
“Bagi saya pelajaran Sosiologi ini akan selalu teringat. Segala nuansa yang tercipta dengan konyol akan tersimpan dan begitu indah untuk dikenang.”
Satu hal yang penulis ingat saat SMP yakni mengenai materi pelajaran Perang Dunia II, hehehe ada kesan tersendiri sih.. haha sama siapa yah ???? adalah pokoknya membuat saya menarik untuk menyukai pelajaran IPS sampai-sampai materi perang dunia II itu tidak bosan-bosannya saya baca sampai tanggalnya saja masih teringat.. yahh begitulah. Maaf flashback dulu ke massa-masa SMP.
Nah saat masuk SMA, sebenarnya pernah salah pilih jurusan sih. Kan saat itu berkenaan dengan diterapkannya Kurikulum 2013, dimana anak kelas satu bisa langsung memilih jurusan sesuai bakat dan minatnya. Namun saya tidak memilih jurusan sesuai dengan kemampuan saya. Iya sih boleh dikata nilai IPAnya juga hampir setara dengan nilai IPS hingga pada akhirnya memilih IPA sebagi jurusan yang diambil, namun setelah memikirkannya ternyata saya lebih nyaman jika mengambil jurusan IPS.Selama di SMA ini pelajaran yang saya suka setelah jadi anak IPS, yaitu Sosiologi. Tahu tidak kenapa saya suka banget sama pelajaran itu. Soalnya ketika kita belajar tentang sosiologi itu kita bisa merasakan soul IPS, belajar mengenai kehidupan social dimasyarakat. selain itu metode pembelajarannya terkesan ringan tapi serius juga mudah dipahami, apalagi kalau bukan metode diskusi metode yang paling membuat kita bisa merasakan kebebasan. Bebas dalam mengutarakan apa yang ingin kita sampaikan, berpendapat, dan menuntut kita untuk mendapatkan hasil atau solusi.
Satu hal yang paling saya suka dalam belajar sosiologi ini pertama karena gurunya dan kedua karena teman-teman. Saya juga pengen ucapin banyak terima kasih buat guru sosiologi yang ngajar kita sudah hampir dua tahun. Banyak memotivasi untuk tetap menggali potensi yang dulunya kalo bicara didepan kelas tidak beraturan saat diskusi sekarang sudah mampu menyaingi anggota DPR saat melakukan sidang dengan deretan pertanyaan yang membutuhkan tingkat analisa yang tinggi. Banyak mengajarkan tentang bagaimana memiliki wawasan yang luas, mempertahankan argument meskipun terkadang teman ingin menguji atau mematahkan setiap pendapat kita. Tapi disitulah keseruannya saat kita beradu pengetahuan dan saling berlomba dalam menyampaikan setiap pendapat.
Terlepas dari guru, teman-teman juga sangat membantu. Ditempatkan di kelas unggulan IPS cukup membuat saya merasakan atmosfer yang berbeda, tentunya dengan pengetahuan diatas rata-rata. saya merasa beruntung, setiap apa yang kita utarakan, sedetail mungkin mereka memperhatikan. Bahkan dari permasalahan kecil saja bisa menjadi besar, dari hal yang biasa saja bisa menjadi hal yang luar biasa. Setiap pendapat yang dikemukakan pasti selalu memiliki umpan balik. Sampai-sampai saya dan teman-teman merasa tidak puas dengan waktu pembelajaran sosiologi yang sedikit dan dipenggal itu. Karena bagi kami dalam membahas satu permasalahan saja bisa sampai berjam-jam karena kita membahas segala aspek didalamnya sampai semuanya bisa menerima dan memahami.
Itu saat kita semua masih kelas satu, sekarang saya dan teman-teman sudah kelas tiga sudah berada difase akhir. Tentunya sudah sangat berbeda seperti dulu, pengetahuan yang kita peroleh pun pasti bertambah. Dalam belajar sosiologi kelas tiga saya merasa sedang tidak belajar melainkan hanya sebuah bermain. Kenapa ? banyak hal baru yang kita peroleh yakni belajar sambil bermain. Bayangkan saja siswa mana yang menyebut dirinya sebagai Asisten Dosen menjelaskan setiap poin-poin pembalajaran. Berdiri sendiri didepan kelas menjelaskan layaknya seorang guru dan menanggapi setiap pertanyaan yang diajaukan sambil diiringi candaan.Mengaitkan setiap permasalahan masyarakat dalam berpendapat, bagaikan perwakilan dari suara masyarakat, memposisikan dirinya sebagai masyarakat dan sebagainya, memperagakan setiap aksi unik diiringi tawa. Pembelajaran terkesan santai namun pada akhirnya mudah dimengerti serta guru yang mengajar pun merasakan bukan seperti guru melainkan seperti pengamat yang mengamati setiap aksi dari setiap materi yang dibawakan oleh Asisten dosen.Ditunjuk secara langsung untuk menjelaskan didepan bukanlah hal yang mudah apalagi tanpa memegang buku, yang di pegang hanya sebuah Spidol dan Menulis segala apa yang kita pahami dan mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulut kita.
Ini sungguh pelajaran yang menakjubkan, guru yang bersahabat, teman yang berkualitas dan gokil mampu menciptakan komedi dalam kelas. Hahaha…
“Bagi saya pelajaran Sosiologi ini akan selalu teringat. Segala nuansa yang tercipta dengan konyol akan tersimpan dan begitu indah untuk dikenang.”
Ingatan (7)
“Mama, Mbak Rena
mana yah ..?” terdengar suara yang begitu khas menuruni tangga menuju ruang
keluarga.
“Belum pulang,
tumben nyari Kakaknya..” kata Perempuan parubaya sedang asyik merapikan beberapa toples di
atas meja. “Kayaknya lagi observasi, soalnya tadi minta izin sama Mama
pulangnya mungkin telat..” lanjut perempuan parubaya itu.
“Pulangnya malem
yah Ma..”
“Mama juga nggak
tahu..”
“Mana handponenya
nggak akif lagi..” kata Ayu duduk disebelah Mamanya.
“Ada yang penting
yah..”
Ayu menangguk. “Iya,
Ayu mau minta pertanggung jawaban Mbak Rena..” kata Ayu melipat kedua
tanggannya.
“Pertanggung
jawaban apa ?, kamu ini sukanya asal ngomong gitu..”
“Iya, soalnya
Mbak Rena dua hari lalu katanya mau jemput aku di sekolah tapi malah nggak
keliatan batang hidungnya. Mana pulangnyaa harus ujan-ujanan”
“Kamu ini, kan
Mbak Rena lagi ada mata kuliah tambahan jadi nggak bisa jemput kamu.” kata
Permpuan itu yang kerap kali dipanggil
Ibu Sari oleh tetangganya.
“Tapi tetap aja
Ma, Mbak Rena udah janji…” kata Ayu mecicipi beberapa jenis kue yang diletakkan
Mama nya diatas meja. “Lagian Mbak Rena mau aku minta buat beliin buku doang
sekalian tebus janjinya..” Lanjut Ayu cengengesan.
“Kamu ini, sama
kakak sendiri digituin..”
“Biarin..”
“Mentang-mentang
dimanja banget sama kakaknya”
“Yah begitulah
Ma, namaya juga kakak. Setidaknya harus ikuti setiap kemauan adeknya..” kata
Ayu tersenyum lebar.
“Kamu ini..”
kata Ibu Sari menggeleng-gelengkan kepalannya melihat tingkah anak bungsunya.
“Ma, minggu
depan aku jadi ke Yogya..”
“Semua
persiapannya udah disiapin ?.”
“Belum Ma, nah
aku butuh banget refrensi buku.”
“Yang disuruh
beli sama Mbak Rena yah ?”
“Iya Ma”
mengangguk penuh harap. “Kalo gitu, Ayu balik ke kamar dulu yah Ma mau
istirahat.” kata Ayu beranjak menaiki taangga.
Tak terdengar
sahutan dari Ibu Sari, mengerti dengan maksud anak bungsunya yang akhir ini ia
perhatikan sangat sibuk dengan berbagai tugas sekolah. Tumpukan-tumpukan kertas
dan beberapa buku kerap kali menghiasi meja belajar Ayu setiap ia membereskan
beberapa barang yang tidak terpakai di kamar putri bungsunya.
*****
Berbagai buku
tertumpuk diatas rak dihiasi oleh berbagai jenis kata motivasi, tertempel
ditiap-tiap dinding dihiasi oleh beberapa foto penulis favoritnya. Seorang foto
penulis berhasil membuatnya tertarik dalam menjelajahi dunia tulis menulis.
foto penulis yang tenar dengan judul buku “Perahu Kertas” mampu menarik
keajaiban dalam dirinya untuk menulis. disamping kanan, foto komedian juga
sebagai penulis terpajang menghiasi dinding kamarnya. Foto-foto itu menjadi
energy untuk Ayu untuk tetap bertahan meski terkadang merasa lemah dan gagal.
Namun kelak ia yakin bisa seperti mereka.
Hal favorite
ketika Ayu bisa menikmati kesendiriannya di dalam kamar, berimajinasi dan berangan-angan
seperti apa dirinya lima tahun mendatang. Apakah ia mampu meraih impiannya ?
pertanyaan dalam dirinya yang kerap kali muncul. Sayangnya ia juga tak
menemukan jawaban. Play musik dari ponselnya terkadang menjadi pilihan lain ketika
ia sedang bersantai. Lirik lagu dalam setiap bait memberikannya sebuah
ketenangan.
Pikiran Ayu
mulai mengingat beberapa hal, masih sebuah pertanyaan dalam dirinya. Yah
pikirannya mengarah pada sosok Rio, teman sekelas yang akrab dengan dirinya
baru-baru ini. Sejenak Ayu teringat dengan ucapan Rio beberapa bulan lalu saat
bersama-sama mendaki di bukit Bintang. “Keajaiban di bukit Bintang ?” seolah
memaknai perkataan Rio, Ayu perlahan mulai mengerti mungkin saja keajaiban itu antara
dirinya dengan Rio yang tanpa terduga bisa seperti ini.
“Ayu jangan
berpikir dengan penuh harap,, sadar lu itu cuman dianggap teman nggak lebih”
kata-kata dalam hati Ayu seketika menyadarkannya untuk tidak berharap begitu
kontras dengan apa yang ada di otaknya.
“Sikap Rio, perhatiannya, itu tidak lebih dari
kepeduliaanya sebagai teman..” kata-kata
itu muncul dari dalam diri Ayu, sebuah peringatan agar ia tidak begitu
berharap.
Ketukan pintu
dari luar, menyadarkan Ayu untuk segera bangkit membuka pintu. Dibukanya pintu
itu wajah Ayu penuh dengan tanda tanya. Seorang perempuan seumur dengannya
mengenakan dres berwarna biru terlihat cantik dan anggun.
“Ika ? ini lu ?”
“Iya..”
“Ngapain
malem-malem ke rumah pake pakaian kaya gitu ?”
“Lu mah
kebiasaan yah, harusnya tamu itu di suruh masuk dulu..”
“Yaudah masuk
..” kata Ayu berjalan menuju kursi di sebelah tempat tidurnya. “Btw lu belum
jawab pertanyaan gua, tumben kesini malem-malem ?” sambung Ayu
“Mau ajakin lu
nonton..” kata Ika melebarkan sedikit senyum
Ayu melongos
“Nonton ? gua nggak salah dengerkan..” kata Ayu dengan penuh tanda tanya. “Jangan
bilang lu mau jadiin gua obat nyamuk, trus lu ngedate dengan Hendra..”
Ika hanya
tersenyum, pertanda bahwa apa yang dikatakan Ayu itu benar.
“Ayolah Yu, kan lu teman gua yang paling baik…” kata
Ika penuh harap.
“Tolonglah kali
ini aja..” Bujuk Ika lagi.
Ayu nampak
berpikir sejenak, menimbang-nimbang tawaran Ika setidaknya itu bukanlah hal
yang buruk. Berada di dalam kamar juga membuatnya merasa bosan.
“Yaudah gua
mau..”
“Yes!”
“Tapi untuk kali
ini aja”
“Oke..”
“Awas kalo lu
ngajak gua lagi..”
“Iya, cerewat
amat sih.. buruan ganti baju”
Ayu tak
menggubris perkataan Ika dan berjalan menuju lemari yang berada di sebelah meja
belajarnya. Begitu banyak baju tersusun rapi disetiap raknya. Ayu pun mencoba
beberapa baju yang ada di dalam lemarinya.
“Bagus nggak ?”
Tanyanya di depan Ika
Ika yang melihat
penampilan Ayu dari ujung kaki hingga kepala, mengharuskannya untuk
berkomentar. Yahh temannya yang satu ini memang memiliki tren pakaian sendiri.
Simple dan unik tapi terlihat kuno.
“Menurut lo gue
setuju ?” jawab Ika ketika puas memperhatikan Ayu dari atas hingga ke bawah.
“Pastinya lu
harus setuju..”
“Nggak, ganti.
emang nggak punya baju lain apa ?” kata Ika komplein “ lu pake rok kek atau apa
yang jelas bukan jeans”
“Hello emang
kita mau ke kondangan cuman nonton doang kali.” kata Ayu. “Gua nggak punya baju
kayak gitu, lu kan tahu gua nggak suka pake baju gituan.”
“Ya ampun Ayu,
lu tuh kebangetan banget yah..”
“Emang…”
“Biar gua yang
cariin deh, minggir” kata Ika mengacak-acak beberapa baju yang ada di lemari
Ayu.
“Nihh ketemu..”
“Lu serius mau
nyuruh gua pake baju yang ini ?”
“Iya, ada yang
salah ?”
“Ya ampun, masa
gua di suruh pake Dress sih..” keluh Ayu.
“Udah deh, nggak
usah ngeluh. Buruan ganti…”
Tanpa berkata
lagi Ayu bangkit dan menuruti perkataan Sahabatnya yang terkadang membuatnya
harus beradu mulut dalam hal pakaian.
Beberapa menit
kemudian mata Ika tak berhenti berkedip melihat seseorang di depannya begitu
anggun dengan Dress berwarna merah sesuai
dengan postur tubuhnya yang ideal tapi tetap natural dengan rambut terurai.
“Kenapa ? udah
puas liat gua kayak gini..” kata Ayu sebal
Ika
mengusap-usap kedua matanya. “Sumpah, lu cantik banget Yu,” melihat Ayu dari
ujung rambut hingga ujung kaki. “Gua sampe pangling liat lu.”
“Biasa aja, gua
malah risih tau..”
“Karena lu nggak
biasa, padahal lu cantik banget kalo pakai pakaian kaya gitu.”
“Udah deh, nggak
usah berlebihan. Jadi berangkat nggak..”
“Jadi
dong..Yukk”
*****
“Lu yakin
janjian sama Hendra nonton disini ?” Tanya Ayu gelisah setelah hampir lima
belas menit menunggu di depan loket.
“Iya, dia tadi
BBm gua tempatnya. Tapi kok belum nongol yahh..”
“Lu telephone
deh..”
“Okk, tunggu
yah..”
Ika beberapa
kali menekan tombol call tapi tak ada jawaban, ia mencoba dan akhirnya
diangkat.
“Sekarang dimana
? aku udah ada di depan loket nihh.” Tanya Ika dari seberang telephone
“Dibelakang
kamu..” jawab Hendra.
Ika heran
mendengar jawaban Hendra kemudian berbalik kearah belakang ternyata benar
Hendra berada disana dan berdiri bersama sahabatnya.
“Ayu, lu kok
nggak manggil sih…” kata Ika nampak salah tingkah
“Yahh kan lu
lagi nelpon nggak sopan tahu…”
“Ohh iya, Maaf
yah telat udah buat kalian nunggu.” kata
Hendra memotong pembicaraan Ika dan Ayu.
“Iya gak
apa-apa..” sambar Ayu.
“Yaudah masuk
yuk, udah pesan tiket kan...” kata Hendra
“Udah dong, udah
gua pesanin. Ini…” kata Ayu sambil menyodorkan dua tiket yang sedang ia pegang.
“Loh kok cuman
dua Ayu, gua kan tadi minta tiga..”
“Yahh gua lagi
malas nonton nih, lu nikmatin ajalah lagian gua nggak mau ganggu orang yang
lagi dimabuk cinta..” kata Ayu menggoda sahabatnya.
“Masa gitu sihh,
kita malah seneng kalo lu juga nonton. Iya kan Ndra..? kata Ika melirik Hendra
yang berdiri disampingnya.
“Iya..kita
seneng kok.”
“Nggak deh,
lagian gua mau cari-cari buku juga. Gua pergi dulu yah..” kata Ayu berjalan
menjahui Ika dan Hendra. “Oww iya, gua hampir lupa. Lu Bbm gua aja yah kalo
udah nonton..”
“Okk sip..”
jawab Ika.
Ayu berjalan menuju
toko buku langganannya yang terletak di lantai tiga. Ia berharap bisa menemukan
beberapa buku yang bisa dijadikan refrensi dalam penulisan essainya di Yogya.
Begitu banyak
orang yang berada di toko itu hampir tak pernah luput dari pengunjung. Penyediaan
bukunya yang lengkap menjadikan toko tersebut menjadi toko favorite bagi
pengunjung yang terletak di salah satu mall di Jakarta timur.
Arahan langkah
kaki Ayu membawanya di salah satu rak buku dengan berbagai pengarang ternama
yang tercantum didalamnya. Tak salah lagi sebuah buku dengan tebal sekitar dua
ratus lembar berhasil menariknya untuk membeli buku tersebut dengan harga yang
lumayan mahal. Namun bagi Ayu, tak ada yang lebih mahal jika itu adalah sebuah
ilmu dan pengetahuan. Jadi wajarlah, setiap yang berhubungan pengetahuan ia tak
segan-segan jika harus mengeluarkan biaya yang mahal.
Selepas membeli
buku, Ayu beranjak ingin membeli beberapa minuman. Berjalan-jalan sendirian
cukup membuatnya merasakan haus hingga ia memasuki sebuah mini café dengan
nuansa klasik dihiasi dengan warna coklat. Tempat itu seakan sudah menyatu
dengan jiwa Ayu, bukan masalah tentang kenangan di tempat itu melainkan tentang
kebiasaan Ayu yang tak pernah absen mengunjungi tempat itu.
“Boleh duduk
disini ?” kata seorang laki-laki yang berdiri di hadapan Ayu.
Ayu mengangkat
kepala mengarahkan pandangannya kepada orang yang berada dihadapannya dengan
menorehkan sedikit senyum.
“Oww iya
silahkan..” jawab Ayu.
Laki-laki itu
kemudian duduk dengan senyum yang mengembang di pipinya yang ternyata adalah
Rio.
“Suka nongkrong
disini juga yah ?” Tanya Rio ketika hendak melihat-lihat buku menu yang
terletak di meja
“Iya, ini tempat
favorite gua nongkrong.”
“Oww gitu”
“Lu sendiri
tumben kesini..”
“Nggak kebetulan
lewat aja,trus liat kedalam ada lu. Jadi gua masuk..”
“Apa hubungannya
dengan gua ?” Tanya Ayu heran mendengar ucapan Rio barusan.
“Yah gua lihat
lu sendiri, nggak baik kan liat temen nongkrong sendiri kaya nyamuk ditinggal
temen-temennya.” kata Rio tersenyum puas
“Mulai dehh. Gua
nggak sendiri kok..”
“Terus lu bareng
siapa ?” Tanya Rio “Disini kayaknya nggak ada oang kecuali gua sama lu,
selebihnya pengunjung yang nggak dikenal”
“Gua bareng Ika
sama Hendra, tapi mereka berdua lagi nonton..” jawab Ayu tanpa sadar. “Upss,,
maksud gua tadi dia ngajakin gua nonton bareng tapi gua males nonton jadi gua
jalan-jalan kesini.”
“Yang bener…” kata
Rio penuh curiga
“Iyalah, menurut
lu..”
“Kalo menurut
gua ada yang lu sembunyiin..”
“Apaan sih,
emang kita lagi main petak umpet apa..”
“Gua tahu kok,
lu nggak usah bohong gitu. Ketabak tau”
“Apa sih….” kata
Ayu bingung
“Permisi, ini
minumannya..” kata pelayan hendak menaruh minuman pesanan Rio
“Iya, makasih
mbak..” jawab Rio.
Keduanya pun
saling menatap satu sama lain, hingga akhirnya pun ia sadar bahwa ini bukanlah
hal yang wajar. Terlihat suasana menggambarkan dimensi mereka berdua. Hal yang
tak pernah dipikirkan Ayu sebelumnya tentang Rio.
“Lu kenapa ?”
Tanya Rio berusaha mengalihkan matanya, seketika takjub melihat perempuan yang
berada di depannya.
“Nggak
kenapa-kenapa, gua duluan yah..”
“Lohh,
pesanannya baru aja datang..”
“Nikmatin aja,
ada keperluan soalnya.” kata Ayu dengan
senyum yang mengembang di pipinya.
******
Deringan ponsel
Ayu terdengar dari dalam tas, ia kemudian menghentikan langkahnya diantara
hiruk-pikuk keramaian di sekelilingnya. Terdengar teriakan para sales promotion
girl menawarkan berbagai jenis produk hingga memadati tempat yang menyediakan
diskon besar-besaran.
Ayu pun mengangkat
handphonenya. “Hallo, iya.”
“Lu sekarang
dimana ?” kata Ika dari arah seberang. “Kok kedengaran bising banget, suara lu
putus-putus nih.”
“Gua ada di
lantai bawah, emang udah mau balik yah..”
“Iya, tunggu gua
yah..”
“Kayaknya gua
balik sendiri yah, soalnya gua udah ada di luar nih dekat parkiran.”
“Masa lu pulang
sendiri kan gua yang ajakin kesini.”
“Nggak apa-apa.
Oh iya pulangnya diantar Hendra aja.”
kata Ayu kemudian memutuskan untuk mengakhiri panggilan Ika.
******
Curhat Tak Berujung (6)
Jam istirahat Ayu
banyak menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama Iyan juga Ika di halaman
depan kelasnya, tidak ada hal menarik
dalam pembicaraan mereka. Hanya sebuah candaan kecil dihiasi dengan tawa Iyan
yang unik.
“Bukan gitu
Iyan, tapi kayak gini..” kata Ika menambahkan, bangkit dari duduknya.
Memperagakan aksi pak Tono dengan logak jawanya..
“Haha.. Asli
mirip banget, medoknya itu loh..” kata Iyan tertawa lepas.
“Lu berdua emang
hobi banget yah,, itu namanya punya ciri khas” kata Ayu . “Lagian Pak Tono baik
kok, meski kadang-kadang kaya gitu. Hehe” Tambahnya.
“Iya juga sih..”
kata Ika sependapat dengan Ayu.
Dari arah jauh
terlihat seseorang menghampiri mereka bertiga, berjalan setenang mungkin namun
tanmpak gugup. Sebisa mungkin untuk menghilangkan rasa takutnya.
“Perr..misi Kak”
sedikit terbata-bata. “Mau nanya Kak Rio nya ada di dalam nggak kak ?” kata perempuan
tinggi itu, persis dihadapan Ayu, Iyan dan juga Ika.
Terlihat
kegugupan perempuan itu ketika harus bertatap muka dengan seniornya.
“Oww fans Rio
toh, lagi di ruang seni kali..” sambar Iyan asal
“Lagi nggak ada
dikelas dek, mungkin aja ke ruang seni” tambah Ayu
“Gitu yah kak,
maaf menganggu.”
“It’s okay, Santai
ajalah..” kata Iyan tersenyum lebar
Dengan cepat
gadis cantik dengan tampan lugu itu segera berlalu meninggalkan Iyan, Ika dan
Ayu. Suasana kembali dipenuhi gelak
tawa.
****
Entah mengapa
mata Rio tak henti-hentinya menatap lukisan yang terpajang di sudut ruangan
cukup luas itu. Lukisan dibuatnya dua tahun lalu saat dirinya ingin menggelar
pameran lukisan merupakan bukti tentang ketertarikannya dengan dunia lukis,
satu hal Rio yakin itu bukanlah kebetulan.
Nyaris mengingat kembali kejadian kemarin sore di toko buku, hatinya
dipenuhi sejuta pertanyaan yang tak bisa dijwabnya tanpa penjelasan Ayu.
“Mengapa dunia
ini terlalu sempit. Terlalu sempit untuk bisa bertemu lagi dengan Rira dan
terlalu sempit untuk mengenal Ayu, sosok seperti Rira” batin Rio.
Mata Rio tetap
menatap lekat-lekat lukisan itu, suara seseorang didekatnya pun tidak
digubrisnya.
“Kenapa Rio ?
kok melamun” kata perempuan itu dengan lembut, menyadarkan Rio dari lamunannya.
“Ahh, lagi
lihat-lihat saja Bu..” kata Rio terbata-bata
“Oww, berhubung
kamu disini kebetulan sekali ada event baru yang diselenggarakan beberapa Universitas ternama di Yogya.
Hadiahnya lumayan. Kamu mau ikut ?” menyodorkan beberapa lembaran kertas berisi
persyaratan dan formulir pendaftaran. “Kalo pengen ikut segera balikin ke Ibu
yah..”
“Iya Bu..” kata
Rio singkat
“Tapi Ibu bisa
minta tolong, jangan lupa beritahu Ayu kalo eventnya diadakan dua minggu
lagi..”
“Ayu ?, dia juga
ikut ?” Rio nampak heran mendengar nama itu, baru kali ini Ayu ingin mengikuti
lomba semacam itu
“Iya, dia
tercatat sebagai perwakilan sekolah dalam event itu.”
“Berarti saya,
juga Ayu sebagai perwakilan Sekolah ? kok bisa ?”
“Kamu ini masa
temen sekelas saja tidak tahu bakat temanmu. Ayu itu pintar dalam hal menulis
dan merangkai kata. Kalo begitu Ibu
tinggal dulu yah..” kata Ibu Nita selaku guru Seni
Tak ada jawaban
dari Rio setelah mendengar penjelasan Ibu Nita, Rio juga tak pernah berfikiran
bahwa Ayu ternyata memiliki bakat terpendam yang tak pernah ia tunjukan kepada
teman-temannya selama tiga tahun terakhir ini. Ketertarikannya membaca berbagai
Buku sebagai penopang dalam mengembangkan bakatnya. Hampir tiga tahun sekelas
dengan Ayu, Rio tak pernah menduga semuanya, sikap Ayu saat dirinya pertama
kali bertemu dan duduk di kelas yang sama tidak terlihat, seakan ia mencoba
menutup-nutupi kemampuan yang dimilikinya. Rio cukup beruntung saat ini ia bisa
mengenal Ayu lebih dekat sebagai sosok berbeda dengan perempuan lainnya hingga
akhirnya Rio bisa sedikit membuka diri terhadap orang lain setelah kenangan
bersama Rira yang masih membekas.
*****
“Iyan, liat Ayu
nggak ?” kata Rio ketika melihat Iyan berdiri di halaman kelas.
“Baru aja ke
Perpustakaan” menunjuk kearah kanan ruang guru. “Ciee makin dekat aja lu sama
sahabat gua” kata Iyan tersenyum manis.
“Apaan sih kan
sama-sama temen kali, yaudah thanks yah”
berlari kecil meninggalkan Iyan
“Ehh gua hampir
lupa, ada adik kelas yang nyariin lu tadi..” kata Iyan sedikit berteriak
setelah Rio sudah berada cukup jauh darinya.
Rio tak
menggubris sedikit pun perkataan Iyan, ia tetap berlari kecil menuju
perpustakaan. Ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Ayu tapi Rio tak
ingin orang lain tahu. Setibanya di Perpustakaan Rio menggerakkan bola matanya
kesemua sedut ruangan alhasil ia bisa menemukan sosok Ayu yang berdiri
disebelah kiri meja panjang perpustakaan.
“Ayu..” dengan
spontan Rio memanggil Ayu tanpa memperhatikan orang-orang disekelilingnya bahwa
ternyata ia sedang berada di
perpustakaan.
“Husstttt..”
kata Ayu bebralik kearah sumber suara itu dan seketika memberikan tanda
peringatan kepada Rio dengan bahasa tubuhnya yang menyadarkan Rio bahwa ini
perpustakaan.
Seketika mata
semua orang tertuju pada mereka berdua. Ayu merasa cukup malu dengan tingkah
Rio yang begitu konyol. Setiap tatapan mata di dalam ruangan itu memberikan
arti yang berbeda. Seolah ada hal lain yang mereka tangkap mengenai Rio dan
Ayu. Rio menyadari hal tersebut dan berusaha meminamalisir keadaan.
“Ada yang pengen
gua omongin” kata Rio berbisik pelan tepat disebelah Ayu.
“Apa ?” kata Ayu
singkat dan secuek mungkin
“Nggak usah
banyak ngomong, nanti gua jelasin”
Ayu hanya mengangguk.
“Kalo gitu gua
tunggu lu di bawah pohon dekat parkiran sekolah, lima menit dari sekarang!..”
Ayu kembali
mengangguk dan menuruti semua perkataan Rio. Ayu nampak begitu kesal, setidaknya Rio bisa
membaca keadaan bahwa ini adalah perpustakaan. Rasa malu cukup terpancar dari
wajah natural tanpa polesan bedak sedikitpun. Adik kelas yang berada di ruangan
itu mulai menatap Ayu, entah kenapa
tatapan itu seolah penuh dengan kecurigaan mengenai hubungannya dengan Rio yang
hanya sebatas teman kelas.
“Kak..”
terdengar suara yang memanggilnya ketika hendak keluar dari perpustakaaan.
“Iya..” jawab
Ayu
“Teman
sekelasnya kak Rio yah..
“Iya, ada apa
yah dek ?”
“ Kak bisa minta
tolong nggak maintain nomor handphone Kak Rio, tolong yah kak”
“Dicoba yah dek,
tapi nggak janji yah.”
“Iya deh Kak,
makasih yah. Jangan lupa bilang sama kak Rio katanya salam dari Angel
yah kak..”
“Iya, kalo gitu
kakak duluan yah…”
****
“Lama banget..”
kata Rio ketika Ayu berdiri dihadapannya.
“Iya lama
ngurusin fans lu..” kata Ayu berada di dekat Rio
Rio heran
mendengar perkataan Ayu barusan kemudian tertawa. “Hahaha…” sambil tersenyum lebar kepada Ayu. “Fans yang mana ? fans gua banyak kali..”
“Mana gua tahu,
katanya minta nomor handpone lu, salam buat lu dari Angle.”
“Ohh” kata Rio
singkat
“Lu cuman bilang
Ohh, nggak ada niat lu apa untuk bilang salam balik kek atau apa..”
“Emang gua harus
gitu ?”
“Setidaknya lu
bisa care juga dengan meraka, jangan cuek gitu..” kata Ayu dengan sedikit kesal
mendengar tanggapan Rio. “Lu ini sebagai contoh, seorang seniman sekolah dan
siswa yang smart, tapi cara lu menghargai seseorang nol.”
“Jadi menurut lu
gua seperti itu ?”
“Gua sempat
berpikiran lu adalah tipe orang yang sombong dan itu benar. Sekelas selama
hampir tiga tahun dan baru akrab kelas tiga membuat gua sadar bahwa lu cukup
tertutup dengan orang baru apalagi gua sosok yang tak pernah terlihat sama lu
saat kelas satu.
“Itu dulu, tapi
gua punya alasan sendiri mengapa seperti itu bahkan gua nggak menuntut lu semua
harus care dengan gua..”
“Iya, tapi bisa kan
hargain setiap orang yang ingin menjalin hubungan baik dengan lu, sikap cuek lu
terkadang membuat orang lain merasa sakit.”
“Sakit ?
maksudnya ?”
“Gini, jika lu
berada di posisi mereka trus lu punya maksud baik terhadap orang yang lu kagumi
dan orang tersebut tak menghiraukan sedikit pun, juga bersikap cuek seperti apa
yang lu lakuin kepada mereka. Apa yang lu rasain ?”
“biasa aja” kata
Rio membohongi kata hatinya.
“Nggak nyangka
jawaban lu bakal sedangkal itu. Coba hargain orang lain Rio. Lu bukan artis dan
juga bukan presiden. Lu hanya seseorang yang setidaknya bisa dibanggakan oleh
sekolah karena prestasimu.” kata Ayu duduk di samping Rio. “Mungkin bagi gua,
iya gua bisa berubah pikiran setelah gua akrab dengan lu tapi yang lain…”
Rio tampak
terdiam, banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada perempuan yang berada di
sampingnya. Rangkaian kata-kata telah tersusun rapi dalam otaknya
“Tapi pernah
tidak berpikiran berada diposisi gua dengan sejuta masalah yang gua hadapin,
semua itu tidak seperti penilain lu, gua punya alasan.”
“Maksudnya ?”
“Gua nggak tahu
cara bersosialisasi lagi dengan orang lain bahkan gua lupa bagaimana bisa dekat
lagi dengan orang lain, menjalin hubungan dengan kalian itu bukanlah hal yang
mudah, kehilangan sosok Ibu cukup membuat gua kehilangan sosok inspirasi yang
selalu memberikan arahan untuk menjadi anak yang peduli terhadap orang lain.”
“Jadi selama ini
Ibu lu ?”
“Iya Ibu sudah
meninggal, saat gua lulus SMP dan sekarang hanya tinggal sama Ayah. Ayah
terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga gua ketemu sosok perempuan yang bisa
care lagi dengan gua seperti Ibu. Menjalani hari-hari bersama, tertawa, hingga akhirnya
gua jatuh cinta dengan dia tapi harus
rela kehilangan dan itu adalah Rira”.
“Deegggg….”
Ayu cukup kaget
mendengar nama itu, jantungnya seakan berhenti berdetak bahkan ia bisa
mengingat persis wajah sepupunya yang telah ia kecewakan. Ayu mengingat kembali
kejadian setahun lalu saat ia harus kehilangan sosok Mbak Rira.
“Jadi selama ini
lu pernah berhubungan dengan Mbak Rira, gua nggak nyangka dan baru tahu
sekarang..”
“Iya, gua hanya
bisa cerita sama lu.”
“Kenapa harus
gua ?”
“Lu adalah orang
yang gua percaya..”
“Tapi apa yang
lu omongin barusan gua bisa rasain, ketika harus kehilangan sosok yang kita
sayangi dan itu memang sangat sulit.” Mata Ayu terus menerawang mengingat
kejadian itu. “Mendengar cerita lu mengingatkan gua tentang kejadian setahun
lalu saat gua harus kehilangan sosok teman sekaligus keluarga, itu adalah
posisi tersulit untuk gua hingga bisa bangkit seperti sekarang..” lanjut Ayu.
“trus apa yang
lu lakuin untuk bisa bangkit ?”
“Yahh gua cuma
bisa bertahan, dan berharap suatu saat semuanya akan kembali seperti dulu
lagi..”
“Lu benar, semua
akan indah pada waktunya..”
Suasana diantara
keduanya hening, pandangan mereka terpencar di setiap sudut sekolah pada halaman
parkiran. Ayu menerawang dan berusaha mengingat kembali tentang kesalahan terbesar
yang pernah ia lakukan, sementara Rio mengarahkan pandangannya ke arah jalan
raya tanpa luput dari ingatannya sosok yang pernah mengisi hidupnya.
“Ayu, lu kenal
baik dengan Rira ?” Rio angkat bicara
memecah keheningan diantara mereka tanpa menengok kearah Ayu, arah pandangannya
masih tertuju ke jalan raya.
Ayu mengarahkan
pandangannya kepada Rio. “Iya, dia sepupu gua..” kalimat yang baru terucap dari
bibir Ayu sontak membuat Rio tak percaya, mengalihkan pandangannya kepada sosok
Ayu.
“Kalian berdua
sepupu..”
“Iya..”
“Tapi, Rira
nggak pernah cerita tentang lu ke gua..”
“Entahlah,
mungin mbak Rira punya alasan sendiri”.
“Kalo gua liat
sepertinya lu berdua pernah ada masalah ? kalian berdua tampak canggung ketika
bertemu beberapa hari lalu..”
Ayu sejenak
menunduk “Ternyata lu cukup pintar mengamati keadaan” kata Ayu menghela napas
panjang. “Kita berdua memang pernah dekat layaknya seorang sahabat,
kesalahpahaman yang membuat kita berdua saling menjauh..”
“Kesalahpahaman
?” kata Rio memotong pembicaraan Ayu.
“Saat itu adalah
posisi tersulit gua ketika harus memilih antara pertemanan atau rasa suka yang
hanya sementara. Tindakan gua terlalu labil tanpa menghiraukan perasaan orang
lain.”
“Maksud lu ?”
“Saat itu,
hubungan mbak Rira dan Yogi sedang ada masalah. gua berniat buat mereka berdua
baik lagi, tapi sikap Yogi kepada gua membuat mbak Rira semakin kecewa. Ketika
Yogi memilih gua untuk mengganti posisi mbak Rira dan gua terlalu bodoh untuk
menerimanya hanya karena rasa yang hanya sementara itu..” suara Ayu tampak
bergetar, pikirannya melayang pada kejadian setahun lalu.
“Gua terlalu
bodoh…” lanjut Ayu dengan air yang mulai menetes dari pelipis matanya.
“Lu nggak bisa
terus-terus nyalahin keadaan. Gua yakin lu nggak pernah sedikit pun punya niat
buat nyakitin orang lain, gua cukup mengenal lu meskipun gua baru akrab dengan
lu..” kata Rio tanpa sengaja menepuk pundak Ayu.
“Tapi apa yang
gua lakuin itu bukanlah hal benar..”
“Tapi lu cukup
belajar dari hal itu dan berhenti untuk menyalahkan diri sendiri. Toh sekarang
hubungan kalian berdua sudah membaik…”
“Tapi Rio..”
“Tapi apa ?
bukannya calon penulis bebas harus tahan banting dan terus menatap ke depan..”
kata Rio berusaha menorehkan senyum diwajah Ayu.
“Apalagi dua
minggu kedepan ada yang lagi ke Yogya..” lanjut Rio melirik kearah Ayu.
“Apaan sih, lu
kok tahu ?”
“Iya taulah secara
kita barengan berangkatnya dan lu harusnya beruntung bisa sama gua orang paling
teristimewa di sekolah ini..”
“Idihh, PD
banget ngomongnya..” terlintas senyum yang mengenmbang dari wajahnya.
“Emang”
“Aneh, gua nggak
nyangka dibalik sisi loh yang cuek itu, lu juga bisa bercanda..” kata Ayu
tertawa puas.
“Gua juga nggak
nyangka dibalik sisi lu yang polos ternyata pernah terperangkap dalam masa
lalu..” kata Rio tersenyum puas,
berhasil membuat Ayu tak bisa berkata-kata.
*****
Dibalik Hujan (5)
Teriknya
matahari tak terpancar, hanya ada sekumpulan awan mendung yang menghiasi
langit. Nampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Terlihat seseorang berdiri di
pintu gerbang sekolah menunggu jemputan.
“Lu nggak balik
?” tiba-tiba terdengar suara yang tak asing lagi bagi Ayu. Yah itu Ika sahabat
sekaligus teman sekelasnya.
Ayu menoleh. “Eh
lu.. nggak nih lagi tunggu Mbak Rena katanya mau jemput gua.” kata Ayu berdiri
di samping Ika. “Lu sendiri nggak balik
?”
“Gua udah mau
balik nih..” kata Ika tersenyum manis
“Oow, tuh muka
napa senyum-senyum kaya orang gila gitu. Sok manis lagi..”
“Haha iya dong,
soalnya gua diantar pulang sama Hendra.”
Ayu terbelalak.
“Ha’ serius lu. Gua nggak salah dengerkan ?” mencoba memastikan perkataan Ika
barusan. “Sekarang udah nggak malu lagi yahh, pulangnya pake diantar segala.”
“Hehe, yah begitulah.”
“Yaudah gua ikut
seneng lah dengarnya, kalo gitu lu duluan ditunggu Hendra loh”
“Oww iya, lu
nggak balik sama Iyan aja. Nih udah mau turun hujan loh.” kata Ika tak tega
meninggalkan sahabatnya.
“Hmm gua tunggu
Mbak Rena aja, nggak apa-apa kok.”
“Yaudah kalo
gitu gua duluan yah..” kata Ika beranjak pergi
“Iya, hati-hati
yah..”
Tak lama
kemudian butiran-butiran air mulai berjatuhan, membasahi jalan dan sekelilingnya. Ayu masih berdiri di gerbang
sekolah merasakan suhu tubuhnya mulai berubah. Nampaknya ia cukup kedinginan,
apalagi hari ini ia tak membawa jaket atau semacamya dan sialnya lagi Batteray
Hpnya mati. Ayu berharap jika batteray Hpnya terisi ia bisa meminta bantuan
Iyan untuk menjemputnya di Sekolah.
Sekarang Ayu
hanya bisa menunggu dan menunggu. Sekolah mulai tampak sunyi, sebahagian dari
mereka sudah pulang.
“Hmm Mbak Rena
mana sih udah hujan gini belum juga nongol, apa dia lupa yah ?” gelisah Ayu
dalam hati nampak kedinginan
Ayu nampak
gelisah, Mbak Rena belum juga datang, curah hujannya pun semakin deras. Ayu
melirik kesana kemari namun tak seoraang pun yang terlihat. Kendaraan berlalu
lalang pun tak terlihat olehnya. Hanya ada sebuah motor yang terparkir disudut
kanan dari pintu gerbang. Mata Ayu mulai mencari siapa pemilik motor itu. Kemudian kembali mengararahkan pandangannya ke
jalan raya, setidaknya mungkin ada taksi yang lewat.
“Hey kok belum
balik ?” terdengar suara dari arah belakang.
Ayu menegok
kebelakang. “Eh Rio, belum nih hujannya deras banget.” kata Ayu mengusap-usap lengannya
yang sedari tadi sudah kedinginan. “Lu sendiri kenapa belum balik ?”
“Oww gua, tadi
lagi nyelesain lukisan kemarin.”
“Oow gitu.” kata
Ayu sembari mengarahkan pandangannya ke sudut gerbang sekolah. Ia baru sadar
ternyata pemilik Motor yang terparkir itu adalah milik Rio.
Rio tak membalas
ucapan Ayu, keheningan diantara keduanya tak terhindarkan. Rio nampak kaku dan
tak tahu harus memulai percakapan dari mana lagi sedangkan Ayu merasa bosan
melihat tingkah Rio yang cueknya tiba-tiba datang. Setidaknya ia berharap Rio mau mengantarnya
pulang setelah hujan reda, namun Ayu mungkin terlalu tinggi berharap. Melihat
sikapnya secuek itu jelas tidak mungkin terjadi.
Ayu kembali
mengusap-usapkan lengannya yang sedari tadi kedinginan tanpa memperhatikan Rio
yang juga berdiri di sampingnya. Sikap Rio membuat Ayu merasa bingung apakah
dia patut dianggap sebagai teman atau orang yang baru ia kenal, sikapnya berubah-ubah
kadang membuat Ayu merasa sulit untuk menyesuaikannya. Terkadang Rio seperti teman
akrab yang bisa mencairkan suasana, Asyik, ramah dan sebagainya. Namun
terkadang Rio juga seperti orang baru yang ia kenal begitu cuek.
Ayu hampir lupa,
ternyata hari ini ia punya jadwal untuk ke Toko Buku dan membeli beberapa novel
edisi terbatas. Melihat kondisi seperti ini ia berifikir dua kali untuk
keasana. Hujan pun akhirnya reda, tapi suhu tubuhnya belum berubah. Ayu merasa
Bimbang, apakah ia harus melewatkan Buku yang selama ini ia tunggu-tunggu
dengan stoknya yang terbatas atau ia harus segera pulang, mengingat tubuhnya
sedari tadi kedinginan.
“Pulang yuk,
hujannya udah reda.” kata Rio menegok kearah Ayu.
“Iya” kata Ayu
singkat, tubuhnya nampak bergetar
“Lu pulangnya
sendiri ?”
“ Iya, soalnya
Mbak Rena mungkin lupa jemput gua”
“Oww kalo gitu
gua duluan yah..” kata Rio kemudian
berjalan kearah Motornya.
Sikap Rio
lagi-lagi membuat Ayu merasa heran, melihat situasi seperti ini setidaknya Rio
bisa menawarkan Ayu untuk pulang bersama atau tidak membantunya untuk mencari
taksi. Sebagai teman seharusnya seperti itu kan.
Rio mengendarai
motornya kearah Ayu dan menghentikan motornya.
“Lu naik
sekarang ?”
“Hmm gua ?” kata
Ayu heran melihat sikap Rio. Ia tak menyangka bahwa Rio akan mengajaknya untuk
pulang bersama sesuai harapannya
“Iyalah, emang
ada orang lagi di deket lu. Buruan!”
“Tapi gua mau ke
Toko Buku dulu..”
“Cuaca seperti
ini dan keadaan lu kaya sapi kedinginan gini masih niat ke Toko Buku. dasar
tolol.” kata Rio sedari tadi memperhatikan keadaan Ayu
“Apaan sih,
yaudah duluan aja deh. Gua bisa pulang sendiri.”
“Lu buruan
naik..”
“Nggak, lu
dualuan aja.”
“Nihhh..” kata
Rio melemparkan jaketnya kearah Ayu dan menarik tangannya untuk naik keatas
motor.
“Apaan nih..?”
kata Ayu tak percaya melihat jaket yang dilemparkan Rio kepadanya.
“Nggak usah
banyak omong pakai dan pegangan !.” kata Rio menyalakan mesin motornya.
“Ogah..” kata
Ayu sedikit kesal namun tetap menuruti perkataan Rio.
****
Tiba-tiba motor
Rio berhenti di Toko Buku yang biasa Ayu kunjungi.
“Loh kok malah
ke Toko Buku sih ?” kata Ayu tak percaya, Rio akan mengantarnya ke toko Buku.
“Buruan turun..” kata Rio cuek. “Lu tololnya
kebangetan yah, Lu sendiri yang ngomong mau ke Toko Buku.” sambung Rio
“Iyaiya..” kata
Ayu serba salah dan segara turun dari motor.
“Ehh lu ngapain
masuk ?” melihat Rio beranjak masuk ke dalam Toko.
“Emang ini Toko
milik lu, trus ada tulisannya gua dilarang masuk gitu.”
“Idihh.. santai
aja kali, bercanda kok..”
Saat berada di
pintu masuk pandangan Rio tertuju pada perempuan berambut panjang mengenakan celana jeans
dengan kaos bergaris di depan kasir. Rio mengingat betul orang itu, orang yang
pernah membuatnya selalu tersenyum bahagia dan membuatnya merasakan sakit mendalam.
Seketika mata
Ayu juga tertuju pada orang yang berada di depan kasir. Tidak salah lagi itu
Rira. Ayu mulai mengingat kembali kesalahpahaman yang pernah terjadi antara
dirinya dengan sepupunya sendiri. Sudah hampir setahun ia tak pernah lagi
bertemu dengan Rira karena kesibukannya sebagai Mahasiswa baru.
“Ehh Ayu..” kata
Rira melambaikan tangannya dan tersenyum manis dari kejauhan.
Ayu hanya
membalasnya dengan anggukan dan senyum. Ia tak menyangka bahwa semuanya akan
kembali seperti biasa. Seolah tak pernah terjadi sesuatu diantara mereka
berdua. Begitu cepat waktu mengatasinya dengan bijak. Sementara Rio masih
terlihat kaku melihat Rira dengan Ayu. banyak pertanyaan yang terbersit
dipikirannya tentang hubungan mereka berdua yang sepertinya akrab tapi saling
canggung.
“Ehh apa kabar ?
gimana sekolahnya sekarang ?” kata Rira menghampiri Ayu setelah menyelesaikan
urusannya di kasir.
“Alhamdulillah
baik Mbak, Mbak sendiri ?” kata Ayu berusaha bersikap nyaman dan seakan tak
pernah terjadi apa-apa di masa lalu.
“Ehh Rio, kalian
berdua…” kata Rira tiba-tiba mengenali orang yang berada di sebelah Ayu.
“Ohh iya, ini
temen aku Mbak. Mbak kenal ?” kata Ayu heran dan tetap terseyum manis.
“Apa kabar ?”
kata Rira mengalihkan pandangannya kearah Rio.
Rio tak bersuara
dan beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Terlalu cepat bagi Rio untuk
bertemu lagi dengan Rira, setahun lebih dirinya mengubur rasa itu dan sekarang
Rira muncul kembali di kehidupannya, seolah-olah tak pernah ada yang terjadi di
masa lalu. Masih terlalu berat bagi Rio untuk bisa menatap mata indah Rira.
“Mbak kenal sama
Rio, maklum Mbak dia orangnya emang kaya gitu.”
“Nggak, sekedar
kenal aja. Kalian berdua serasi dehh..” kata Rira masih tersenyum manis
“Ahh nggak lah
Mbak, kita berdua cuma temanan kok.”
“Oww, kalo gitu
Mbak duluan yah..”
“Kok buru-buru
banget Mbak, jalan-jalan kerumah yah. Ditunggu Mbak Rena tuh..”
“Lain kali aja
yah Ayu, Salam aja sama Mbak Rena” kata Rira berlalu meninggalkan Ayu.
“Hati-hati yah
Mbak..” kata Ayu terdengar canggung.
“Mbak Rira nggak
banyak berubah yah, hampir sama seperti dulu. Cuman ia terlihat lebih cantik
dan dewasa.” batin Ayu berajak memilih buku yang akan ia beli.
****
“Lu udah beli
bukunya ?” kata Rio sedaritadi menunggu di parkiran.
Ayu hanya
mengangguk “Lu kenal sama Mbak Rira yah ?” spontan kata-kata itu keluar dari
bibiir Ayu, entah mengapa ada sesuatu yang bisa Ayu tangkap mengenai sikap Rio
barusan.
“Oww kalo gitu
balik yuk..” kata Rio tak menggubris pertanyaan Ayu, baginya butuh waktu untuk
menjelaskan semuanya kepada orang lain, terlebih ia harus menceritakannya
kepada Ayu, orang baru dalam hidupnya.
“Tapi kayaknya
gua balik sendri aja.”
“Serius mau
balik sendiri ? nggak mau diantar sama teman yang baiknya selangit..” kata Rio
berusaha mencairkan suasana sedikit beku.
“Lu duluan
aja..”
“Oke, lu hati-hati
” kata Rio kemudian berlalu meninggalkan Ayu.
Beberapa menit
menunggu, akhirnya Ayu memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat ramai akan
kendaraan berlalu-lalang. Berharap semoga saja ada taxi melintas, tubuhnya
sedikit melemas, bibirnya tampak pucat. Ayu mulai berjalan linglung kepalanya
terasa berat.
“Hmm,, taxinya
mana yah. kok nggak nongol-nongol, udah sore lagi” gumam Ayu dalam hati melirik
setiap arah jalan.
“Sakit ?” Tanya
seseorang yang sedari tadi memperhatikan Ayu hingga ke ujung jalan.
Dengan melemas
Ayu menjawab. “lumayan berat” kata Ayu memegang kepalanya. “sebelumnya pernah
kenal ?”
“Oww iya,
kenalin gua Juan” mengulurkan tangannya
“Gua Ayu,
kayaknya gua pernah liat.” kata Ayu sedikit familiar melihat seseorang yang
berada disampingnya.
“Idihh muka gua
pasaran banget yah..”
“Kalo diliat
udah kuliah yah ?”
“Iyap, kayak
peramal aja.”
“Gua duluan yah.
Salam kenal” kata Ayu melihat taxi melintas di hadapannya dan segera
melambaikan tangan meninggalkan Juan sendirian, lebih tepatnya orang yang baru
ia kenal.
“See You,
hati-hati” kata Juan ketika Ayu hendak menaiki taxi dengan seri nomor 326.
Terlihat keakraban diantara Juan dan Ayu.
Perkenalan
singkatnya dengan Ayu, memberikan sedikit rasa penasaran Bagi Juan. Berharap ia
bisa berjumpa lagi dengan sosok remaja SMA berkulit putih itu namun tetap
tampak natural sesuai dengan umurnya. Sekilas Juan tertarik juga pada kepribadian Ayu yang bisa membuatnya begitu
enjoy berbicara dengan orang baru.
“Namanya Ayu,
yah sesuailah dengan kepribadiannya..” batin Juan.
******
Langganan:
Postingan (Atom)