Jam istirahat Ayu
banyak menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama Iyan juga Ika di halaman
depan kelasnya, tidak ada hal menarik
dalam pembicaraan mereka. Hanya sebuah candaan kecil dihiasi dengan tawa Iyan
yang unik.
“Bukan gitu
Iyan, tapi kayak gini..” kata Ika menambahkan, bangkit dari duduknya.
Memperagakan aksi pak Tono dengan logak jawanya..
“Haha.. Asli
mirip banget, medoknya itu loh..” kata Iyan tertawa lepas.
“Lu berdua emang
hobi banget yah,, itu namanya punya ciri khas” kata Ayu . “Lagian Pak Tono baik
kok, meski kadang-kadang kaya gitu. Hehe” Tambahnya.
“Iya juga sih..”
kata Ika sependapat dengan Ayu.
Dari arah jauh
terlihat seseorang menghampiri mereka bertiga, berjalan setenang mungkin namun
tanmpak gugup. Sebisa mungkin untuk menghilangkan rasa takutnya.
“Perr..misi Kak”
sedikit terbata-bata. “Mau nanya Kak Rio nya ada di dalam nggak kak ?” kata perempuan
tinggi itu, persis dihadapan Ayu, Iyan dan juga Ika.
Terlihat
kegugupan perempuan itu ketika harus bertatap muka dengan seniornya.
“Oww fans Rio
toh, lagi di ruang seni kali..” sambar Iyan asal
“Lagi nggak ada
dikelas dek, mungkin aja ke ruang seni” tambah Ayu
“Gitu yah kak,
maaf menganggu.”
“It’s okay, Santai
ajalah..” kata Iyan tersenyum lebar
Dengan cepat
gadis cantik dengan tampan lugu itu segera berlalu meninggalkan Iyan, Ika dan
Ayu. Suasana kembali dipenuhi gelak
tawa.
****
Entah mengapa
mata Rio tak henti-hentinya menatap lukisan yang terpajang di sudut ruangan
cukup luas itu. Lukisan dibuatnya dua tahun lalu saat dirinya ingin menggelar
pameran lukisan merupakan bukti tentang ketertarikannya dengan dunia lukis,
satu hal Rio yakin itu bukanlah kebetulan.
Nyaris mengingat kembali kejadian kemarin sore di toko buku, hatinya
dipenuhi sejuta pertanyaan yang tak bisa dijwabnya tanpa penjelasan Ayu.
“Mengapa dunia
ini terlalu sempit. Terlalu sempit untuk bisa bertemu lagi dengan Rira dan
terlalu sempit untuk mengenal Ayu, sosok seperti Rira” batin Rio.
Mata Rio tetap
menatap lekat-lekat lukisan itu, suara seseorang didekatnya pun tidak
digubrisnya.
“Kenapa Rio ?
kok melamun” kata perempuan itu dengan lembut, menyadarkan Rio dari lamunannya.
“Ahh, lagi
lihat-lihat saja Bu..” kata Rio terbata-bata
“Oww, berhubung
kamu disini kebetulan sekali ada event baru yang diselenggarakan beberapa Universitas ternama di Yogya.
Hadiahnya lumayan. Kamu mau ikut ?” menyodorkan beberapa lembaran kertas berisi
persyaratan dan formulir pendaftaran. “Kalo pengen ikut segera balikin ke Ibu
yah..”
“Iya Bu..” kata
Rio singkat
“Tapi Ibu bisa
minta tolong, jangan lupa beritahu Ayu kalo eventnya diadakan dua minggu
lagi..”
“Ayu ?, dia juga
ikut ?” Rio nampak heran mendengar nama itu, baru kali ini Ayu ingin mengikuti
lomba semacam itu
“Iya, dia
tercatat sebagai perwakilan sekolah dalam event itu.”
“Berarti saya,
juga Ayu sebagai perwakilan Sekolah ? kok bisa ?”
“Kamu ini masa
temen sekelas saja tidak tahu bakat temanmu. Ayu itu pintar dalam hal menulis
dan merangkai kata. Kalo begitu Ibu
tinggal dulu yah..” kata Ibu Nita selaku guru Seni
Tak ada jawaban
dari Rio setelah mendengar penjelasan Ibu Nita, Rio juga tak pernah berfikiran
bahwa Ayu ternyata memiliki bakat terpendam yang tak pernah ia tunjukan kepada
teman-temannya selama tiga tahun terakhir ini. Ketertarikannya membaca berbagai
Buku sebagai penopang dalam mengembangkan bakatnya. Hampir tiga tahun sekelas
dengan Ayu, Rio tak pernah menduga semuanya, sikap Ayu saat dirinya pertama
kali bertemu dan duduk di kelas yang sama tidak terlihat, seakan ia mencoba
menutup-nutupi kemampuan yang dimilikinya. Rio cukup beruntung saat ini ia bisa
mengenal Ayu lebih dekat sebagai sosok berbeda dengan perempuan lainnya hingga
akhirnya Rio bisa sedikit membuka diri terhadap orang lain setelah kenangan
bersama Rira yang masih membekas.
*****
“Iyan, liat Ayu
nggak ?” kata Rio ketika melihat Iyan berdiri di halaman kelas.
“Baru aja ke
Perpustakaan” menunjuk kearah kanan ruang guru. “Ciee makin dekat aja lu sama
sahabat gua” kata Iyan tersenyum manis.
“Apaan sih kan
sama-sama temen kali, yaudah thanks yah”
berlari kecil meninggalkan Iyan
“Ehh gua hampir
lupa, ada adik kelas yang nyariin lu tadi..” kata Iyan sedikit berteriak
setelah Rio sudah berada cukup jauh darinya.
Rio tak
menggubris sedikit pun perkataan Iyan, ia tetap berlari kecil menuju
perpustakaan. Ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Ayu tapi Rio tak
ingin orang lain tahu. Setibanya di Perpustakaan Rio menggerakkan bola matanya
kesemua sedut ruangan alhasil ia bisa menemukan sosok Ayu yang berdiri
disebelah kiri meja panjang perpustakaan.
“Ayu..” dengan
spontan Rio memanggil Ayu tanpa memperhatikan orang-orang disekelilingnya bahwa
ternyata ia sedang berada di
perpustakaan.
“Husstttt..”
kata Ayu bebralik kearah sumber suara itu dan seketika memberikan tanda
peringatan kepada Rio dengan bahasa tubuhnya yang menyadarkan Rio bahwa ini
perpustakaan.
Seketika mata
semua orang tertuju pada mereka berdua. Ayu merasa cukup malu dengan tingkah
Rio yang begitu konyol. Setiap tatapan mata di dalam ruangan itu memberikan
arti yang berbeda. Seolah ada hal lain yang mereka tangkap mengenai Rio dan
Ayu. Rio menyadari hal tersebut dan berusaha meminamalisir keadaan.
“Ada yang pengen
gua omongin” kata Rio berbisik pelan tepat disebelah Ayu.
“Apa ?” kata Ayu
singkat dan secuek mungkin
“Nggak usah
banyak ngomong, nanti gua jelasin”
Ayu hanya mengangguk.
“Kalo gitu gua
tunggu lu di bawah pohon dekat parkiran sekolah, lima menit dari sekarang!..”
Ayu kembali
mengangguk dan menuruti semua perkataan Rio. Ayu nampak begitu kesal, setidaknya Rio bisa
membaca keadaan bahwa ini adalah perpustakaan. Rasa malu cukup terpancar dari
wajah natural tanpa polesan bedak sedikitpun. Adik kelas yang berada di ruangan
itu mulai menatap Ayu, entah kenapa
tatapan itu seolah penuh dengan kecurigaan mengenai hubungannya dengan Rio yang
hanya sebatas teman kelas.
“Kak..”
terdengar suara yang memanggilnya ketika hendak keluar dari perpustakaaan.
“Iya..” jawab
Ayu
“Teman
sekelasnya kak Rio yah..
“Iya, ada apa
yah dek ?”
“ Kak bisa minta
tolong nggak maintain nomor handphone Kak Rio, tolong yah kak”
“Dicoba yah dek,
tapi nggak janji yah.”
“Iya deh Kak,
makasih yah. Jangan lupa bilang sama kak Rio katanya salam dari Angel
yah kak..”
“Iya, kalo gitu
kakak duluan yah…”
****
“Lama banget..”
kata Rio ketika Ayu berdiri dihadapannya.
“Iya lama
ngurusin fans lu..” kata Ayu berada di dekat Rio
Rio heran
mendengar perkataan Ayu barusan kemudian tertawa. “Hahaha…” sambil tersenyum lebar kepada Ayu. “Fans yang mana ? fans gua banyak kali..”
“Mana gua tahu,
katanya minta nomor handpone lu, salam buat lu dari Angle.”
“Ohh” kata Rio
singkat
“Lu cuman bilang
Ohh, nggak ada niat lu apa untuk bilang salam balik kek atau apa..”
“Emang gua harus
gitu ?”
“Setidaknya lu
bisa care juga dengan meraka, jangan cuek gitu..” kata Ayu dengan sedikit kesal
mendengar tanggapan Rio. “Lu ini sebagai contoh, seorang seniman sekolah dan
siswa yang smart, tapi cara lu menghargai seseorang nol.”
“Jadi menurut lu
gua seperti itu ?”
“Gua sempat
berpikiran lu adalah tipe orang yang sombong dan itu benar. Sekelas selama
hampir tiga tahun dan baru akrab kelas tiga membuat gua sadar bahwa lu cukup
tertutup dengan orang baru apalagi gua sosok yang tak pernah terlihat sama lu
saat kelas satu.
“Itu dulu, tapi
gua punya alasan sendiri mengapa seperti itu bahkan gua nggak menuntut lu semua
harus care dengan gua..”
“Iya, tapi bisa kan
hargain setiap orang yang ingin menjalin hubungan baik dengan lu, sikap cuek lu
terkadang membuat orang lain merasa sakit.”
“Sakit ?
maksudnya ?”
“Gini, jika lu
berada di posisi mereka trus lu punya maksud baik terhadap orang yang lu kagumi
dan orang tersebut tak menghiraukan sedikit pun, juga bersikap cuek seperti apa
yang lu lakuin kepada mereka. Apa yang lu rasain ?”
“biasa aja” kata
Rio membohongi kata hatinya.
“Nggak nyangka
jawaban lu bakal sedangkal itu. Coba hargain orang lain Rio. Lu bukan artis dan
juga bukan presiden. Lu hanya seseorang yang setidaknya bisa dibanggakan oleh
sekolah karena prestasimu.” kata Ayu duduk di samping Rio. “Mungkin bagi gua,
iya gua bisa berubah pikiran setelah gua akrab dengan lu tapi yang lain…”
Rio tampak
terdiam, banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada perempuan yang berada di
sampingnya. Rangkaian kata-kata telah tersusun rapi dalam otaknya
“Tapi pernah
tidak berpikiran berada diposisi gua dengan sejuta masalah yang gua hadapin,
semua itu tidak seperti penilain lu, gua punya alasan.”
“Maksudnya ?”
“Gua nggak tahu
cara bersosialisasi lagi dengan orang lain bahkan gua lupa bagaimana bisa dekat
lagi dengan orang lain, menjalin hubungan dengan kalian itu bukanlah hal yang
mudah, kehilangan sosok Ibu cukup membuat gua kehilangan sosok inspirasi yang
selalu memberikan arahan untuk menjadi anak yang peduli terhadap orang lain.”
“Jadi selama ini
Ibu lu ?”
“Iya Ibu sudah
meninggal, saat gua lulus SMP dan sekarang hanya tinggal sama Ayah. Ayah
terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga gua ketemu sosok perempuan yang bisa
care lagi dengan gua seperti Ibu. Menjalani hari-hari bersama, tertawa, hingga akhirnya
gua jatuh cinta dengan dia tapi harus
rela kehilangan dan itu adalah Rira”.
“Deegggg….”
Ayu cukup kaget
mendengar nama itu, jantungnya seakan berhenti berdetak bahkan ia bisa
mengingat persis wajah sepupunya yang telah ia kecewakan. Ayu mengingat kembali
kejadian setahun lalu saat ia harus kehilangan sosok Mbak Rira.
“Jadi selama ini
lu pernah berhubungan dengan Mbak Rira, gua nggak nyangka dan baru tahu
sekarang..”
“Iya, gua hanya
bisa cerita sama lu.”
“Kenapa harus
gua ?”
“Lu adalah orang
yang gua percaya..”
“Tapi apa yang
lu omongin barusan gua bisa rasain, ketika harus kehilangan sosok yang kita
sayangi dan itu memang sangat sulit.” Mata Ayu terus menerawang mengingat
kejadian itu. “Mendengar cerita lu mengingatkan gua tentang kejadian setahun
lalu saat gua harus kehilangan sosok teman sekaligus keluarga, itu adalah
posisi tersulit untuk gua hingga bisa bangkit seperti sekarang..” lanjut Ayu.
“trus apa yang
lu lakuin untuk bisa bangkit ?”
“Yahh gua cuma
bisa bertahan, dan berharap suatu saat semuanya akan kembali seperti dulu
lagi..”
“Lu benar, semua
akan indah pada waktunya..”
Suasana diantara
keduanya hening, pandangan mereka terpencar di setiap sudut sekolah pada halaman
parkiran. Ayu menerawang dan berusaha mengingat kembali tentang kesalahan terbesar
yang pernah ia lakukan, sementara Rio mengarahkan pandangannya ke arah jalan
raya tanpa luput dari ingatannya sosok yang pernah mengisi hidupnya.
“Ayu, lu kenal
baik dengan Rira ?” Rio angkat bicara
memecah keheningan diantara mereka tanpa menengok kearah Ayu, arah pandangannya
masih tertuju ke jalan raya.
Ayu mengarahkan
pandangannya kepada Rio. “Iya, dia sepupu gua..” kalimat yang baru terucap dari
bibir Ayu sontak membuat Rio tak percaya, mengalihkan pandangannya kepada sosok
Ayu.
“Kalian berdua
sepupu..”
“Iya..”
“Tapi, Rira
nggak pernah cerita tentang lu ke gua..”
“Entahlah,
mungin mbak Rira punya alasan sendiri”.
“Kalo gua liat
sepertinya lu berdua pernah ada masalah ? kalian berdua tampak canggung ketika
bertemu beberapa hari lalu..”
Ayu sejenak
menunduk “Ternyata lu cukup pintar mengamati keadaan” kata Ayu menghela napas
panjang. “Kita berdua memang pernah dekat layaknya seorang sahabat,
kesalahpahaman yang membuat kita berdua saling menjauh..”
“Kesalahpahaman
?” kata Rio memotong pembicaraan Ayu.
“Saat itu adalah
posisi tersulit gua ketika harus memilih antara pertemanan atau rasa suka yang
hanya sementara. Tindakan gua terlalu labil tanpa menghiraukan perasaan orang
lain.”
“Maksud lu ?”
“Saat itu,
hubungan mbak Rira dan Yogi sedang ada masalah. gua berniat buat mereka berdua
baik lagi, tapi sikap Yogi kepada gua membuat mbak Rira semakin kecewa. Ketika
Yogi memilih gua untuk mengganti posisi mbak Rira dan gua terlalu bodoh untuk
menerimanya hanya karena rasa yang hanya sementara itu..” suara Ayu tampak
bergetar, pikirannya melayang pada kejadian setahun lalu.
“Gua terlalu
bodoh…” lanjut Ayu dengan air yang mulai menetes dari pelipis matanya.
“Lu nggak bisa
terus-terus nyalahin keadaan. Gua yakin lu nggak pernah sedikit pun punya niat
buat nyakitin orang lain, gua cukup mengenal lu meskipun gua baru akrab dengan
lu..” kata Rio tanpa sengaja menepuk pundak Ayu.
“Tapi apa yang
gua lakuin itu bukanlah hal benar..”
“Tapi lu cukup
belajar dari hal itu dan berhenti untuk menyalahkan diri sendiri. Toh sekarang
hubungan kalian berdua sudah membaik…”
“Tapi Rio..”
“Tapi apa ?
bukannya calon penulis bebas harus tahan banting dan terus menatap ke depan..”
kata Rio berusaha menorehkan senyum diwajah Ayu.
“Apalagi dua
minggu kedepan ada yang lagi ke Yogya..” lanjut Rio melirik kearah Ayu.
“Apaan sih, lu
kok tahu ?”
“Iya taulah secara
kita barengan berangkatnya dan lu harusnya beruntung bisa sama gua orang paling
teristimewa di sekolah ini..”
“Idihh, PD
banget ngomongnya..” terlintas senyum yang mengenmbang dari wajahnya.
“Emang”
“Aneh, gua nggak
nyangka dibalik sisi loh yang cuek itu, lu juga bisa bercanda..” kata Ayu
tertawa puas.
“Gua juga nggak
nyangka dibalik sisi lu yang polos ternyata pernah terperangkap dalam masa
lalu..” kata Rio tersenyum puas,
berhasil membuat Ayu tak bisa berkata-kata.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar