Senin, 04 Januari 2016

Diantara Pelangi (4)

            Dua minggu kemudian….
Paparan sinar matahari menggerakkan tubuh Ayu untuk bangkit dan memulai hari pertama sekolah disemester pertama kelas XII. Semangat baru terpancar dari raut wajahnya. Pikirannya terfokus pada wajah-wajah temannya, begitu konyol, kompak dan paling bisa membuatnya tersenyum. Apalagi Iyan, mengingat namanya saja sudah terbayangkan di otak Ayu. selagi Ayu masih sempat bertemu dengan  temannya tidak ada hal yang paling menyenangkan selain itu semua. Libur panjang cukup membuatnya bosan menjalani aktifitas sendiri dan menghabiskan waktu di rumah, mengingat Iyan menikmati liburannya di luar kota kian menambah kesepian di masa-masa libur sekolah sedangkan Ika bagaikan hilang ditelan bumi dan mungkin lagi menikmati liburannya bersama Hendra secara mereka tetanggaan.
“Ayu udah siap, mau Mbak antar ke Sekolah ?” kata Mbak Rena tiba-tiba muncul dan membuka pintu kamar Ayu.
Ayu menoleh kearah Pintu.“Oww, Nggak usah Mbak aku sendiri aja.” Kata Ayu merapikan dasinya. “Bukannya Mbak ada kuliah pagi nanti telat keburu macet. Lagian aku belum selesai.”
“Oww gitu, trus kamu mau naik apa ?”
 “Hmm tenag aja Mbak, aku naik Roket kok jadi cepat nyampenya..” kata Ayu cengengesan.
Mbak Rena tampak mati kutu melihat adik satu-satunya mulai bertingkah Aneh dan memulai menerapkan dunia khayalnya. “Ya.. ampun Ayu, baru pagi udah datang tuh penyakit. kalo gitu Mbak duluan yah nanti nuler..” kata Mbak Rena sembari menutup pintu kamar Ayu.   
Sekitar lima menit Ayu pun selesai dan bersiap untuk berangkat, tiba-tiba terdengar deringan dari arah sakunya. Nampaknya Panggilan masuk Iyan sedari tadi menghubunginya, sekitaran dua puluh panggilan tidak dijawabnya dan semuanya merupakan panggilan masuk Iyan.
“Iya ada apa ?” kata Ayu sebal
“Lu sakit atau ngambek sama gua sih ? gitu amat”  Tanya Iyan heran.
“Pikir aja sendiri, baru inget sama gua, baru kasih kabar. Beberapa hari lalu kemana aja. Oww apa  lu baru inget sama temen lu..” kata Ayu dengan  suara agak meninggi.
“Yaahh Maaflah, nggak sempet ngasih tau lu.. maafin yah.”
“gua pikir-pikir dulu..” kata Ayu kemudian memutuskan Telepone.
“Hmm kebiasaan tuh anak kalo ngambek pasti kaya gini. Mana susah banget dibujuknya, perlu jurus seribu bayangan kaya naruto biar balik lagi normal” kata Iyan menghela napas panjang.

****
“Ayu, tunggu..” teriak seseorang dari belakang.
“Pasti nih Iyan.. Hmm menyebalkan” kata Ayu dalam hati  tak mengehentikan langkahnya dan terus berjalan.
“Ayu…” teriakan seseorang itu masih terdengar hingga menarik pundak Ayu.
“Ada apa sih Iyan, gua nggak mau bicara sama lu.” kata Ayu menoleh kearah belakang dengan raut muka memerah
“Iyan ? lu nggak salah liat.. gua Rio” kata Rio heran
“Oww lu, gua kira Iyan..”
“Lu ada masalah yah sama Iyan ?”
“Hmm nggak, gua duluan yah..” kata Ayu singkat berlalu meninggalkan Rio.
“Aneh gak kayak biasanya..” kata Rio dalam hati, berjalan menuju ruang seni.
Di jalan Rio bertemu beberpa adik kelas yang memanggilnya dengan sebutan “Pangeran Lukis” tak sedikitpun dipedulikan, banyak dari mereka menganggap Rio sebagai kakak kelas yang keren tapi cuek. Menyapanya saja belum tentu dibalas apalagi hanya sebuah sorakan atau tatapan mata saja sudah pasti tak dihiraukan. Namun bagi mereka Rio merupakan kakak kelas yang patut untuk dikagumi, bukan hanya soal akademiknya tapi ketampanannya sepadan dengan prestasi dimilikinya.
Bagi Rio semua yang dimilikinya bukan malah membuatnya sombong, namun itulah dia. Sosok cuek terhadap orang yang tak dikenalnya  walaupun nggak dikatakan egois. Rio tak menyalahkan keadaannya sekarang, begitu banyak orang yang mengagumi hampir sebagian dari mereka membuat Rio risih. Sebenarnya Rio tak mengharapkan itu semua. Sebuah senyuman manis setiap dirinya lewat dan merasa diistimewakan. padahal yang dia inginkan perlakuan biasa seprti temannya yang lain. Mungkin itu salah satu alasan mengapa dirinya begitu cuek dengan semua perlakuan istimewa yang diberikannya. Tidak salah orang menyebutnya seperti itu, tapi untuk orang yang  akrab dengan Rio menganggapnya tak seperti orang banyak. Di balik itu semua, dia orang yang asyik diajak berbincang-bincang tapi sikapnya suka berubah-ubah kepada setiap orang.
“Pangeran Lukis liat Ayu nggak ?” kata Iyan tiba-tiba muncul di sebelah kanan Rio menirukan tingkah laku penggemar labil Rio, siapa lagi kalo bukan adik-adik kelas mereka.  
Rio menoleh. “Lu Iyan gua kirain siapa..” kata Rio sedikit kaget. “Tadi gua liat sih malahan sempat ngobrol. Lu ada masalah yah sama dia ?” 
“Yahh biasalah, lagi ngambek soalnya liburan  kemarin gua nggak ngasih tau kalo gua lagi di Yogya. Apalagi mungkin dia ngerasa sendiri, baru kali ini gua liburan gak barengan, makanya kayak gitu.” kata Iyan sambil melangkah kecil.
“Pantesan tuh anak mukanya kaya monster. Tapi kalo gua jadi dia sih mungkin lebih ganas yah..” kata Rio mengikuti  langkah kaki Iyan.
“Mungkin, kan lu Pangeran Lukis. Orannya nggak susah ditebak, kadang cuek bahkan  kadang keliatan sok akrab gitu.” kata Iyan memulai pembicaraan sedikit konyol
Rio tertawa. “Hahah, lu bisa aja..” kata Rio melirik kearah Iyan. “Emang gua kayak gitu orangnya ?”
Iyan ikut tertawa. “Emang lu baru nyadar..” kata Iyan berlari meninggalkan Rio menuju kelas. “Dasar.. Pangeran Lukis..”
“Awas yah lu Iyan ngatain gua…” kata Rio menyusul Iyan yang berlari meninggalkannya.

****
Jam pelajaran telah di mulai, semua siswa nampak mengelurkan seluruh kelengkapan belajarnya seperti alat tulis dan sebagainya. Ayu nampak mengeluarkan beberapa buku dan selembar kertas. Diambilnya selembar kertas itu lalu ditulisnya beberapa kata “Cinta Kolom Meja” Inspirasi judul untuk Naskah Novelnya yang akan dikirim ke penerbit. Jam pelajaran Sejarah yang di bawakan oleh Ibu Rika ­­­­­tak sedikit pun diperhatikanya, Ayu lebih memilih untuk meyusun rangkaian bab dalam novelnya. Entah mengapa hari itu konsentrasinya untuk belajar Sejarah tidak memenuhi standar moodnya seperti biasa. Mengingat pelajaran Sejarah merupakan pelajaran favoritenya.
Dua jam telah berlalu, jam pelajaran Ibu Desi diakhiri dengan memberikan beberapa pekerjaan Rumah kian menambah kehebohan dalam kelas. tugas yang diberikan tak seperti biasanya, tugas kelompok menjadi metode baru  diterapkan untuk anak kelas tiga. Hal buruk bagi sebagian anak kelas tiga, sebuah metode jebakan yang mengandalkan kerja tim namun pada akhirnya hanya mengandalkan satu pihak saja dalam menyusun sebuah bahan untuk presentasi.
“Ok, kalo begitu Ibu tinhggal, tugasnya bisa dikumpul minggu depan.” kata Ibu Rika lalu bergegas meninggalkan ruangan kelas.
“Ehh Ayu ..” terdengar suara dari arah belakang bangku Ayu, tak sedikitpun membuat Ayu menoleh ke belakang hingga sebuah dentingan pulpen mengarah ke kepalanya.
Ayu akhirnya menoleh.“Sakit tau, ada apa sih..” kata Ayu dengan raut wajah sedikit kesal karena konsentrasinya untuk menulis menjadi buyar.
“Lu sih dari tadi dipanggil nggak nengok, makanya gua pake metode baru buat panggil lu..” kata Ika cengengesan
“Sudah ceritanya ?” kata Ayu datar tanpa ekspresi
 “Lu kenapa sih ? lu marah sama gua.” kata Ika heran. “atau mungkin lu masih kesal soal omongan gua ditelepone” sambung Ika
Ayu tanpa ekspresi tak menjawab perkataan sahabatnya, hanya memperbaiki posisi duduknya seperti semula dan mengarahkan pandangannya pada lembaran kertas yang berada diatas meja. Diambilnya kertas itu lalu bergegas pergi meninggalkan ruangan kelas, tanpa menegok kearah Ika. 
Jam pelajaran kosong cukup membuat Ayu merasa lega, setidaknya ia bisa ke perpustakaan untuk lebih konsentrasi dalam pembuatan outline novelnya. Hari dimana moodnya cukup baik untuk menulis namun berbanding terbalik dengan moodnya untuk bergabung bersama Ika, Iyan dan yang lain.  
****

Mata  Ayu mulai tertuju pada salah satu ruangan yang lumayan luas dengan deretan buku. Terlihat dari ujung kanan hingga ujung kiri deretan buku tertata rapi dalam satu rak. Setiap raknya berisi berbagai jenis buku baik fiksi maupun nonfiksi tersusun berdasarkan tahunnya. Nampak begitu sunyi mengingat jam pelajaran berlangsung dan hanya sebagian siswa berada diantara bangku panjang yang terdapat disamping kanan rak buku.
Diletakkannya lembaran kertas yang ditulisnya, menambah inspirasi Ayu untuk mengambil beberapa buku di rak sastra berisi tentang berbagai macam kaidah penulisan dalam bahasa Indonesia. Tak lupa novel favoritenya juga ada diantara buku yang terletak diantara lembaran kertas di atas meja. Setiap bab dalam ceritanya terselipkan beberapa pengalaman pribadinya, saat dimana ia merasa sedih maupun senang.
Dua jam telah berlalu, setidaknya ia masih tetap fokus. Tak ada kata lelah dan letih untuk sebuah impian yang sedari dulu diimpikan dan tak ada kata menyerah untuk setiap tantangan yang menghadang. Bagi Ayu sebuah impian tak hanya diimpikan tapi diwujudkan.
Saat mengambil buku selanjutnya, Ayu nampak bingung. Buku yang dilihatnya sebelum libur semester masih ada. Sebuah buku sederhana diantara deretan buku tahun 90-an masih terpajang dan mengharuskan Ayu untuk mencarinya dari rak atas hingga rak bawah belum juga ia dapatkan. 
“Lu cari ini ?” terdengar suara diantara sela-sela buku, menyodorkan buku yang nampak usang masih berbalutkan plastic pada halaman depan.
Ayu nampak heran. “Lohh kok…” mengambil buku yang disodorkan Rio. “Lu juga baca ini ?”
Rio tersenyum. “Yahh begitulah, buku Badai Pasti Berlalu karya Marga.T yang diterbitkan tahun 90-an. Menceritakan kisah cinta segitiga bernuansa romantic dan diperankan oleh Leo, Siska, dan Helmi. Sempat diangkat menjadi film layar lebar juga memenangkan berbagai ajang penghargaan, seperti festival film Indonesia dan piala Citra. Iya kan ?” kata Rio panjang lebar
Ayu terkesan mendengar penjelasan Rio barusan. Ia tak menduga bahwa Rio akan tahu tentang itu., terlebih yang ia tahu Rio menyukai dunia seni bukan dunia sastra. tapi setelah ia pikir-pikir juga ada kaitannya. Dunia perfilman menyangkut dunia seni. Namun tetap saja aneh bagi Ayu.
“Ha’ iya, lu kok bisa tahu.. ?”
“Iya taulah, gua suka sama ceritanya. Meskipun ceritanya sedikit dewasa. Selain itu gua juga kagum sama Marga.T sosok yang menginspirasi para penulis  untuk mengikuti jejaknya.” kata Rio dengan asyik bercerita.
“Jangan bilang lu juga udah baca buku marga.T yang berjudul Matahari Tengah Malam ?”
“Kalo iya kenapa ? ceritanya menarik seperti judulnya Matahari tengah Malam atau biasa disebut Midnight sun, ternyata merupakan fenomena yang benar terjadi pada musim panas di daerah kutub utara. Seperti yang terjadi di Norwegia dalam buku itu dijelaskan bukan!
“Oww lu kok banyak tahu soal itu, aneh tau seorang Rio yang dikenal sebagai Pangeran lukis oleh adik kelas ternyata juga tahu tentang dunia sastra.”
“Mulai lagi, emang ada yang salah ? nggak kan?” kata Rio duduk persis dihadapan Ayu.
“Salah sih nggak, cuman aneh aja.” kata Ayu mengangkat bahu. “Mungkin yang berbau tentang lu semuanya aneh yah. Entah itu sikap lu, kadang cuek kadang sok akrab gitu. Bahkan bahan bacaan lu tahun 90-an yang mungkin bagi orang lain terkesan kuno.” Sambung Ayu.
“Tapi gua rasa hidup gua nggak aneh, biasa aja sama kayak lu.” kata Rio mengarahkan pandangannya kearah Ayu. “Justru yang gua rasa aneh itu lu Ayu.” Sambung Rio
“Kok gua sih, lu tuh yang aneh..”
“Lu tuh beda dari cewek kebanyakan, bedahnya yah jauh banget. Kalo setau gua sih cewek seumuran lu biasanya suka dunia fashion entah itu suka baca majalah atau apalah, bukan buku tahun 90-an.”
“Ahh lu biasa aja. Yahh masih ada yang jauh lebih penting kali buat dibaca ketimbang harus bolak-balikin setiap halaman majalah gak jelas trus ngomong gua pesan ini yah, kayaknya keren deh. Cocok buat gua. Kan nggak banget…”  kata Ayu membela diri
Rio tertawa. “Haha lu jago juga yah ngelawak plus ngeles, bilang aja kalo lu nggak punya majalah cewek.” kata Rio asal ngomong. “Ehh gua hampir lupa, lu kapan ada waktu luang.
“Ihhh lu ngeselin banget sih” kata Ayu memanyunkan bibirnya. “ gua nggak ada waktu, lagi sibuk banget. Kenapa ?”
“Sorry bercanda kok, jadi kapan dong bisa kerja bareng soalnya minggu depan udah mau di kumpul nih..”
“Kumpul apaan ? kerja bareng ? apaan sih, gua nggak ngerti”
“Astaga Ayu lu nggak denger yah Bu Desi nyerocos apaan tadi di kelas..” kata Rio menepuk dahinya
“Denger, dia beri kita tugas laporankan.. Ehh tapi tunggu dulu, maksud lu kita satu kelompok ?”
“Iya bareng Ika juga Iyan”
“Oww sama dua makhluk astral itu..” kata Ayu dengan malas
“Jadi kapan bisanya ?” kata Rio memastikan meskipun Rio bisa menangkap katidaksukaan Ayu satu kelompok dengan Ika dan Iyan.
“Terserah lu aja deh..” kata Ayu merapikan bukunya dan berlalu meninggalkan Rio

****
Sepulang sekolah Ayu langsung merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur, akhir-akhir ini ia terlalu sibuk mengerjakan naskahnya sampe-sampe hubungannya dengan Iyan dan Ika tak begitu bersahaja apalagi minggu ini moodnya kacau, mungkin pengaruh bawaan bulanan. 
Pukul empat sore terdengar bunyi ponsel Ayu, ternyata sebuah Messeage dari Rio yang menyuruhnya ke taman belakang sekolah. Ayu segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas untuk  kesana. Melihat pesan dari Rio nampaknya begitu penting dan menyuruhnya secepat mungkin untuk kesaana
Sesampainya disana Ayu merasa aneh, tak ada seorang pun disana. Apa Rio sedang tidak bercanda menyuruhnya kesini, namun Rio bukan tipe orang seperti itu. Dia lebih tepatnya orang yang nggak suka ngerjain orang bahkan nggak pernah meskipun cukup menyebalkan dan cuek.
“Apa sih nih maksud Rio, suruh gua kesini trus dianya nggak ada, bahkan nggak ada seorang pun disini. awas aja kalo dia ngerjain gua..” kata Ayu setengah ngedumel
“Ehh lu udah datang.” kata Rio tiba-tiba muncul
“Emangnya lu ngapain nyuruh gua kesini ?”
“Hmm, Apaa yahh….”
Tiba-tiba dari arah belakang terlihat dua orang menghapiri mereka berdua membawa sebuah kue lebih tepatnya cup cake yang diatasnya bertuliskan kata “Maaf” membuat Ayu merasa heran melihat kedua orang itu, ternyata itu Iyan dan Ika. Seketika Ayu merasa bersalah melihat keduanya dan merasa terharu, segitu berharga dirinya untuk kedua orang itu. Sampai-sampai demi baikan saja mereka berdua harus melakukan hal itu.
“Maafin gua yah Ayu, nggak ngasih tahu lu…” kata Iyan.
“Gua juga Ayu, buat lu badmood banget hari ini..” Sambung Ika
Tanpa menjawab sepatah katah pun, Ayu langsung memeluk kedua sahabatnya itu. Rio yang melihat semuanya juga merasa bahagia begitu berharganya pertemanan mereka, dan dirinya baru sadar ternyata mungkin inilah yang dinamakan Arti sebuah pertemanan. Jujur saja melihat mereka bertiga membuat Rio ikut merasa senang.
“Maafin gua juga yah, terlalu egois banget. Lu memang adalah teman paling berharga yang gua milikin.” kata Ayu masih memeluk kedua sahabatnya itu.
“Iya Ayu, kita berdua sayang lu kok.” kata Ika

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar